Perabotan Lenong

Aku Bangga Jadi Anak Betawi

Jumat, 09 Maret 2012

Asal Muasal Petasan Di Tanah Betawi



Historisitas petasan
Dalam beberapa literatur Cina dicatat bahwa bubuk mesiu pertama kali ditemukan pada masa Dinasti Sung (960-1279). Orang Cina menemukan bubuk mesiu yang merupakan campuran dari potasium nitrat, sulfur, hingga charcoal yang jika digabungkan dengan oksigen akan menimbulkan ledakan dan cahaya yang menyembur. Selain digunakan dalam peperangan ketika Cina hendak menghadang ekspansi Mongol yang dipimpin oleh Kaisar Kubelai Khan pada tahun 1279, mesiu juga digunakan untuk penyemarakan pesta tradisi Cina yaitu pernikahan dengan spiritualitas dasar: mengusir roh-roh jahat yang bisa saja mengganggu perayaan dan pesta.
Tradisi petasan dan kembang api sendiri bermula di Cina pada abad Ke-11, dan kemudian menyebar ke Jazirah Arabia pada abad ke-13 dan selanjutnya ke daerah-daerah lain. Tradisi petasan dibawa oleh Orang Tiong Hoa yang datang dan menetap di Indonesia. Orang Tiong Hoa yang datang pertama kali di nusantara khususnya di Jawa yaitu seorang pendeta Budha Fa Hien (Faxien). Ia datang ke Jawa pada tahun 413. Ia mendapati pulau Jawa tidak ada orang Tiong Hoa. Ia kembali ke Cina. Selanjutnya dalam banyak literatur dicatat bahwa orang Tiong Hoa yang datang ke Indonesia ternyata hanya berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwang Tung.
Secara historis kedatangan bangsa Tiong Hoa di Indonesia melalui tiga tahap. Tahap pertama yaitu tahap kerajaan. Orang-orang yang datang pada tahap ini kebanyakan para pedagang. Karena melihat musim angin yang baik, mereka ini berlayar dan akhirnya sampai di perairan Indonesia.
Tahap kedua yaitu setelah kedatangan bangsa Eropa di Asia Tenggara pada abad ke-16. Motif kedatangan mereka sampai ke Indonesia yaitu masih perdagangan. Kedatangan Inggris, Spanyol, Belanda dan Portugis mmenambah semangat orang Tiong Hoa untuk berdagang.
Tahap ketiga yaitu saat Indonesai di bawah Pemerintahan Belanda. Orang-orang Tiong Hoa kebanyakan berada di pesisir utara Pulau Jawa untuk berdagang. Selain itu, kehadiran mereka juga dikarenakan oleh kebijakan Pemerintah Belanda yang dengan sengaja mendatangkan orang Tiong Hoa sebagai tenaga kerja di proyek-proyek pertambangan dan pelabuhan.

Adaptasi budaya Betawi
Seorang sejarawan Betawi yaitu Alwi Shahab meyakini bahwa tradisi pernikahan orang Betawi yang menggunakan petasan untuk memeriahkan suasana merupakan adopsi tradisi orang-orang Tiong Hoa yang bermukim di sekitar mereka.
Catatan sejarah yang cukup mencolok terkait dengan peristiwa 1740 yaitu kerusuhan etnis Tiong Hoa di Batavia. Pada tahun ini terjadi pembantaian 10.000 orang etnis Tiong Hoa yang tak berdosa di Ommelanden, daerah pinggiran atau pedalaman Batavia. Pembantaian itu dilatarbelakangi persaingan dagang. Pedagang Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis kalah bersaing dengan pedagang Tiong Hoa sehingga mereka menghasut penduduk kota Batavia untuk membantai etnis Tiong Hoa. Meski demikian, ada versi lain yaitu terkait kerawanan sosial karena banyaknya penduduk Tiong Hoa yang menjadi pengangguran. Dengan alasan inilah Pemerintah Belanda membantai mereka.
Tidak jelas motif pembantaian etnis Tiong Hoa tahun 1740 itu. Tapi satu hal yang jelas yaitu etnis Tiong Hoa di Batavia kalang kabut setelah peristiwa pembantaian itu. Mereka melarikan diri ke daerah-daerah pinggiran di Batavia seperti Tangerang, Parung, Serpong, Parung Panjang, Tenjo, Cisauk, Teluk Naga dan Balaraja. Mereka ini lantas disebut Cina Benteng. Mereka ini ternyata membawa terus adat kebiasaan mereka seperti menyalakan petasan menjelang perayaan Peh Cun atau perayaan tradisi Cina lainnya. Parung Panjang, sebuah kota di sebelah barat Serpong sampai saat ini masih dikenal sebagai pusat penghasil petasan terbesar di Indonesia.

Sekularisasi makna
Dalam perjalanan waktu, tradisi menyalakan petasan ini ditiru oleh orang-orang Betawi hingga kini, teristimewa menjelang pesta perkawinan atau khitanan. Itu tidak berhenti di situ saja, ternyata dalam perkembangan waktu petasan memeriahkan bulan suci puasa bagi umat Islam. Arti simbolis petasan dalam tradisi Cina dan Betawi yaitu sebagai alat komunikasi. “Pada jaman dulu jarak rumah penduduk berjauhan. Untuk memberitahu bahwa ada pesta pernikahan atau khitanan orang menyalakan petasan, “ungkap Alwi Shahab sejarawan Betawi. Selain itu, petasan juga dipakai sebagai sarana untuk memberitahu para undangan dan khalayak ramai bahwa pesta segera dimulai. Kebudayan Betawi tidak statis, tetapi dinamis dan berkembang sepanjang waktu. Ia menyerap berbagai unsur budaya baik lokal maupun global dan mengolahnya menjadi bagian dari tradisi.
Makna petasan dari waktu ke waktu terus mengalami sekularisasi. Pada kebudayaan Cina ada unsur mistisnya yaitu mengusir roh-roh jahat, pada kebudayaan Betawi berkembang menjadi sarana komunikasi dan pada bulan suci puasa semakin sekular yaitu penyemarakan suasana waktu buka puasa maupun saat sahur. Petasan menjadi bagian dari entertainment.

Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Permainan Betawi Kuda Bisik

Pernah dengar nama ‘KUDA BISIK’? Yakni sebuah permainan tradisional yang sering dimainkan pada masa masyarakat belum mengenal internet dan tidak terlalu terpikat dengan televisi.

Kuda Bisik terkenal sebagai salah satu permainan yang dimainkan rakyat Betawi (warga Jakarta) tempo dulu. Sama dengan permainan Galasin (Gobak Sodor), Petak Jongkok, Petak Umpet dan Nenek Gerondong, permainan ini tidak memerlukan alat bantu untuk memainkannya. Dulu ketika saya masih kecil (usia TK hingga SD), ketika nenek dan kakek saya masih hidup dan ketika kami keluarga besar masih sering berkumpul di rumah nenek-kakek di bilangan Jakarta Pusat, saya beserta para sepupu dan beberapa tetangga sering memainkan permainan ini khususnya di malam takbiran.
Sederhana saja aturan dalam permainan Kuda Bisik ini. Berikut syarat dan cara memainkannya.
Syarat:
  1. Bentuk 2 Tim yang setidaknya terdiri atas 3 orang atau lebih pada masing-masing tim.
  2. 1 orang yang bertugas sebagai juri (orang yang dibisiki).
Cara bermain:
  1. Dua tim berdiri berhadapan. Sementara juri berdiri atau duduk di antara kedua tim.
  2. Lakukan suit atau undian koin untuk menentukan tim mana yang lebih dulu memulai permainan. Salah satu anggota dari tim (misal: Tim A) yang menang harus menghampiri juri dan membisikkan nama salah satu anggota dari  tim lawan mereka. Kemudian giliran tim lawan (misal: Tim B) menghampiri juri dan melakukan hal yang sama, yakni membisikkan nama salah satu anggota dari tim yang menjadi lawannya.
  3. Jika salah satu anggota (misal: dari Tim A) yang menghampiri juri adalah orang yang namanya disebut (dibisiki) ke telinga juri oleh tim lawan (Tim B), maka Tim A harus mendapatkan hukuman karena tim lawan berhasil menebak siapa orang (nama) yang akan menghampiri juri selanjutnya).
  4. Tim A yang kalah tadi akan dihukum dengan menggendong lawannya dengan cara gendong kuda. Jika tak bisa gendong kuda, maka Tim A harus dihukum dengan cara lain sesuai hasil yang telah dikompromikan. Setelah hukuman selesai, permainan pun dilanjutkan dengan cara yang sama.
Begitulah permainan Kuda Bisik. Intinya adalah menebak siapa anggota dari tim lawan yang akan maju menghampiri juri (si kuda bisik). Dilihat dan dibayangkan sepertinya tidak seru ya. Tapi jika dimainkan secara langsung apalagi dengan hati yang lepas dan berbahagia, wah permainan itu sangat seru sekali. Dapat berfungsi untuk mempererat persaudaraan antar teman dan tetangga. Maklum dulu benar-benar belum zamannya internet dan jejaring sosial booming seperti sekarang ini.

Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Kubah Emas atau Masjid Dian Al Mahri

Masjid Dian Al Mahri atau lebih dikenal sebagai kubah emas begitu fenomenal dalam kurun waktu setahun belakangan. Masjid ini menjadi ikon dan magnet baru bagi muslim Indonesia.

Masjid ini membuat takjub siapapun yang pernah melihatnya, yaitu kubahnya yang terbuat dari emas. Tak heran jika masjid tersebut lebih dikenal dengan sebutan Masjid Kubah Emas Depok. Masjid termegah di kawasan Asia Tenggara.



Sangat luar biasa, itulah kalimat pertama yang diucapkan pengunjung saat pertama kali melihat Masjid Dian Al Mahri di Kelurahan Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok. Sebuah masjid megah berkapasitas 20 ribu jemaah tampak berdiri kokoh di atas lahan seluas 70 hektar. Bangunan masjid memiliki luas 8.000 meter persegi yang terdiri dari bangunan utama, mezanin, halaman dalam, selasar atas, selasar luar, ruang sepatu dan ruang wudu. Masjid ini mampu menampung 15 ribu jemaah shalat dan 20 ribu jemaah taklim.

Masjid yang indah dan megah ini membuat rasa penasaran pengunjung luar Jakarta untuk datang secara langsung melihat keunikan masjid ini. Mereka datang dari berbagai daerah, baik yang ada di sekitar Bogor, Bandung, maupun kota dan daerah lain di luar Jawa Barat dan Pulau Jawa. Seolah tak kenal waktu, siang dan malam pengunjung terus berdatangan silih berganti, seperti ada magnet spiritual yang begitu kuat menarik mereka.
Seperti yang dialami pengunjung bernama Rusdi. “Saya jauh-jauh datang dari Lampung ke sini karena penasaran saja ingin melihat masjid yang katanya terbuat dari emas. Tadinya saya kurang yakin, apa benar ada masjid dibuat dari emas. Tapi, setelah melihat sendiri, saya percaya,” kata pria paruh baya itu yang juga menyempatkan diri shalat Jumat di Masjid Kubah Emas.
Masjid ini telah resmi dibuka untuk umum bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, 31 Desember 2006. “Pembangunannya memang sudah berlangsung sejak tahun 1999, namun baru dibuka untuk umum 31 Desember 2006. Setelah shalat Idul Adha, pemilik masjid langsung meresmikan masjid ini.
“Saat itu, tak kurang dari lima ribu jemaah mengikuti pro-sesi peresmian masjid ini,” kata Ir H Yudi Camaro MM, pengelola Masjid Dian Al Mahri. Selain masjid, lahan di sekeliling masjid juga dijadikan islamic centre. “Ada lembaga dakwah dan rumah tinggal sebagai tempat aktivitas keagamaan di kompleks masjid ini, “tambahnya.
Secara umum, arsitektur masjid mengikuti tipologi arsitektur masjid di Timur Tengah dengan ciri kubah, minaret (menara), halaman dalam (plaza), dan penggunaan detail atau hiasan dekoratif dengan elemen geometris dan obelisk, untuk memperkuat ciri keislaman para arsitekturnya. Ciri lainnya adalah gerbang masuk berupa portal dan hiasan geometris serta obelisk sebagai ornamen.
Halaman dalam berukuran 45×57 meter dan mampu menampung 8.000 jemaah. Enam menara (minaret) berbentuk segi enam, yang melambangkan rukun iman, menjulang setinggi 40 meter. Keenam menara itu dibalut batu granit abu-abu yang diimpor dari Italia dengan ornamen melingkar. Pada puncaknya terdapat kubah berlapis mozaik emas 24 karat. Sedangkan kubahnya mengacu pada bentuk kubah yang banyak digunakan masjid-masjid di Persia dan India. Lima kubah melambangkan rukun Islam, seluruhnya dibalut mozaik berlapis emas 24 karat yang materialnya diimpor dari Italia. Sedangkan untuk parkir, disiapkan lahan seluas 7.000 meter persegi yang mampu menampung kendaraan 300 bus atau 1.400 kendaraan kecil.
Sedangkan teknologi pemasangan emas pada kubah masjid dilakukan melalui tiga cara. Pertama, dengan serbuk emas (prada). Teknik prada digunakan pada pemasangan emas di bagian mahkota pilar (tiang kapital) yang ada di dalam bagian interior masjid.
Kedua, teknik gold plating, yakni teknik pemasangan dengan pelapisan emas berbahan dasar kuningan dan tembaga. Digunakan pada pemasangan lampu gantung, railling tangga mezanin, pagar mezanin, ornamen kaligrafi kalimat tasbih di pucuk langit-langit kubah dan ornamen dekoratif di atas mimbar mihrab.
Ketiga, teknik gold mozaic solid, yakni teknik pemasangan emas dengan ketebalan tertentu, biasanya dengan ketebalan lapisan emas sekitar 2 mm. Teknik ini digunakan pada pemasangan emas di kubah utama dan kubah menara. “Teknik pemasangan emas dan lampu gantung seluruhnya dikerjakan oleh ahli dari Italia,” kata Yudi.
Masjid ini memiliki peraturan yang cukup ketat, misalnya saja anak-anak yang berumur di bawah 10 tahun dilarang masuk ke dalam masjid. Anak-anak ini hanya boleh masuk aula saja. Untuk masalah kebersihan dan kesucian masjid, disiapkan petugas keamanan yang menjaga di sekeliling mesjid. Petugas seringkali dengan ramah mengingatkan pengunjung, misalnya untuk tidak membuang sampah sembarangan atau menginjak rumput.
Di masjid inipun digelar pengajian atau acara ceramah rutin bersama beberapa ustadz yang memang menguasai bidang kajiannya masing-masing. Sehingga masjid ini tak hanya megah secara fisik tapi juga ramai dengan kegiatan-kegiatan keagamaan setiap harinya.


Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Sejarah Singkat Gong Sibolong



Sebagian besar warga Depok pasti mengetahui sebuah tugu yang berada di daerah tanah baru, Depok. Tugu itu terletak pada sebuah persimpangan jalan, sehingga jangan heran ketika tugu tersebut menjadi sebuah patokan untuk menunjukan wilayah Tanah Baru.

Namun, sedikit orang yang mengetahui apa sebenarnya Tugu tersebut, Tugu tersebut merupakan Tugu Gong Si Bolong. Dimana, terdapat replika Gong si Bolong diatas tugu tersebut. Gong si Bolong pun sekarang menjadi nama dari kelompok kesenian khas kota Depok. Tak tanggung tanggung kelompok kesenian ini pernah memenangkan juara 1 dalam pagelaran kesenian Jawa Barat Travel Exchange 2008.

Ditemukannya Gong si Bolong

Sejarah Gong si Bolong ini pun tergolong unik, karena juga merupakan sebuah cerita/legenda dari masyarakat Depok. Monitor Depok, sebuah harian lokal kota Depok,pada tanggal 10 Juli 2008 pernah menuliskan artikel terkait sejarah munculnya Gong si Bolong ini.

Kisah ini di mulai abad ke 16, saat itu Kampung Tanah Baru masih lebih banyak hutan dan rawa, dimana penduduknya sangat sedikit dan umumnya bertani. Di Kampung Tanah Baru tersebut kerap kali terdengar bunyi-bunyian suara Gamelan di malam hari, namun ketIka sumber dari suara tersebut dicari tak satu pun orang yang dapat menemukannya.
bolong
Di tahun 1648, Seorang warga bernama Pak Jimin menemukan sumber bunyi tersebut, yang ternyata memang seperangkat gamelan. Namun ternyata tidak ada orang yang memainkannya. Lokasi penemuannya adalah di sekitar curug Agung di aliran sungai krukut. Pak jimin pun hanya sanggup membawa sebuah gong yang bolong di tempat pukulnya, gendang, dan bende. Ketika Pak Jimin kembali lagi bersama beberapa tetangganya untuk menggambil sisa perangkat gamelan itu, ternyata perangkat gamelan lainnya sudah raib. Ketiga alat music tersebut akhirnya diberi nama Si Gledek, karena bunyinya yang nyaring.
Menjadi Kesenian Khas Depok
Gong si Bolong, baru dilengkapi sehingga menjadi satu set gamelan yang bisa dimainkan ketika berada di tangan Pak Tua Galung (Pak Jerah). Pak jerah melengkapinya dengan satu set gendang, dua set saron, satu set kromong, satu set kedemung, satu set kenong, terompet, bende serta gong besar. Ini pula yang menandai terbentuknya Kelompok Kesenian Gong si Bolong.
bolong2
Kelompok Kesenian ini ketika tampil menampilkan serangkaian pertunjukan antara lain ajeng, ngayuban, dan ngbing. Ajeng, adalah permainan gamelan khas Depok, yang dentumannya mirip gamelan Bali. Nayuban, merupakan penampilan tarian Khas asal tanah Baru, yang merupakan cikal bakal tarian doger karawang, dan jaipongan.
Berikut ini adalah silsilah kesenian Gong si Bolong yang bersumber dari H Holil (cucu dari H damong Putra dari Pak Tua Jimin tahun 1913)
1. Pak Tua Jimin (ciganjur)
2. Pak Anim (curug)
3. Pak Tua Galung (tanah baru)
4. Pak Saning (tanah baru)
5. Nyai Asem (tanah baru)
6. Pak Bagol (tanah baru)
7. Pak Buang Jayadi (tanah baru)
8. Pak Kamsa S atmaja (tanah baru)
9. Pak Buang Jayadii (tanah baru)
Kesenian Gong si Bolong, telah menjadi kesenian khas Depok. Terlepas benar atau tidak legenda penemuannya. Kesenian ini Patut lah dilestarikan sebagai salah satu kesenian khas dan budaya Depok.


Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Ulama Betawi

Belajar dari Kegigihan Ulama Betawi
Sejarah Indonesia di masa kolonial tidak dapat dipisahkan dari Thomas Stanford Raffles yang berkuasa pada pemerintahan Inggris (1811-1816). Selama di Indonesia, dia memerhatikan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Memberikan perhatian besar terhadap kiprah para ulama Betawi. Pendiri kota Singapura yang tinggal di Risjwijk (kini Jl Segara) di gedung yang sekarang ini menjadi Bina Graha, tempat kegiatan Kepala Negara, itu pernah memuji kegigihan ulama Betawi. Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap sebagai Lembaga Kesenian yang anggota-anggotanya beragama Kristen, Raffles meminta mereka belajar dari keberhasilan para ulama Betawi dalam menyebarkan Islam.
Pada awal abad ke-19, Alquran sudah menjadi bacaan di kampung-kampung dan masyarakatnya sangat menghormati para ulama dan mubaligh mereka yang dengan gigih mengajarkan Islam dari kampung ke kampung.
Tampaknya penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga dia meminta organisasi orang-orang Nasrani mencari jalan keluar mengimbangi para mubaligh Islam. ”Jika sukses para mubaligh ini terus menerus dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” ujar Raffles.
Karena itulah seorang orientalis Belanda, Prof C Snouck Hurgronye, menyatakan bahwa Islam adalah musuh utama mereka dan keturunan Arab lantas dianggap sebagai musuh utama pula.
Seperti layaknya Perang Salib, sekalipun Belanda tidak sekeras Spanyol, tapi menunjukkan kebencian terhadap ulama dan kiai. Untuk itu, menurut risalah Arabithah Alawiyah, pada 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak terhadap pendidikan. Di antaranya tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau pengajian . Kebijakan ini diambil lantaran sejak lahirnya Jamiat Khair (1905), banyak pendidikan Islam bermunculan. Kegigihan warga Betawi terhadap Islam diakui Hamka. Ia berkata, ”Antara penjajah dan anak negeri seperti minyak dan air meski keduanya dimasukkan dalam botol, tapi tidak bisa bercampur.”

Shaikh Junaid Al Betawi
Ruang lingkup kajian ulama Betawi abad ke-19 tidak dapat dipisahkan dengan Shaikh Junaid Al Betawi sebagai sumber pangkalnya hingga sekarang (Rachmad Zailani Kiki).

Shaikh Junaid –kelahiran Pekojan, Jakarta Barat– sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam melahirkan ualama Betawi di kemudian hari. Dalam kajian ini, pengertian ulama Betawi dibedakan dengan pengertian habaib (bentuk jamak dari habib). Bagi masyarakat Betawi sendiri, habaib sebagai bagian dari ulama yang bukan habaib. Dalam persoalan hierarki status, orang Betawi memosisikan habaib dan ulama Betawi pada posisi yang setara.
Menurut Hamka, bila perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar ke Timur Tengah.
Di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik termasuk Shaikh Junaid Al Betawi yang mengajar di Masjidil Haram. Dia banyak menghasilkan ulama terkemuka. Pada 1925 ketika Raja Ali mengaku kalah pada Ibnu Saud, dia meminta supaya orang-orang besar, selain kerabatnya, termasuk para tokoh Betawi dibebaskan. Permintaan ini disanggupi Raja Saud.
Pada 1939 Indonesia mengirimkan jamaah haji ke Tanah Suci. Tidak lama kemudian, terjadi Perang Dunia II. Mereka tidak bisa pulang ke Tanah Air karena zona laut dinyatakan sebagai zona peperangan. Raja Saud juga memberikan izin pada mereka untuk tinggal di negaranya. Di Saudi, terdapat ribuan mukimin yang berasal dari Indonesia yang sudah menjadi warga negara kerajaan itu.
Ketika saya umrah pada 2002, saya mendapati sekitar 200 pelajar dari Indonesia termasuk para mukiminnya belajar pada Sayid Muhammad Al Maliki. Di perguruan Al Maliki –sedikit di luar kota Makkah– kerajaan membolehkan kegiatan Maulid, yang menurut paham Wahabi terlarang. Ketika beliau wafat, Raja Abdullah memberikan penghormatan khusus kepadanya.

Guru Mujitaba
Seperti Shaikh Junaid, guru Mujitaba juga mendapatkan pendidikan di Arab Saudi. Muridnya antara lain guru Mansyur yang telah menulis 19 buah buku berbahasa Arab. Di samping itu, di Tanah Suci banyak ulama Indonesia yang mendapat pendidikan di Mesir, bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI. Seperti Dr H.A. Nahrawi Abdul Salam lulusan Kairo.
Sementara Habib Usman bin Yahya (lahir di Pekojan 1882), di samping bermukim di Makkah tujuh tahun dan berguru pada Syaikh Dahlan, mufti Makkah, kemudian ke Hadramaut selanjutnya ke Kairo, Tunisia, Persia, dan Suriah. Dia sangat produktif menulis. Tidak kurang 47 kitab karangannya yang masih kita dapati di Arsip Nasional RI.
Sebelum wafat, ia berpesan agar makamnya tidak dibuat kubah dan tidak menginginkan diadakan haul untuk dirinya. Makamnya di Karet, Tanah Abang, digusur pada masa Gubernur Ali Sadikin. Di antara muridnya adalah Habib Ali Alhabsyi, Kwitang (1870-1966), yang banyak menghasilkan ulama besar karena mendirikan perguruan ‘Unwanul Falah’ di samping masjid Kwitang. Masih ada ulama Betawi yang mendapatkan pendidikan di Makkah, yakni Guru Marzuki (Jakarta Timur) dan Guru Mughni (Kuningan Jakarta Selatan).
Pada 1798 VOC bangkrut akibat korupsi besar-besaran dan pada 1885 orang Arab dari Hadramaut memiliki 175 kapal laut di Batavia. Penulis Belanda abad ke-19 menyatakan, sesungguhnya pengaruh yang besar dalam penyebaran Islam adalah keturunan Arab. Di tangan merekalah tersebar Islam di antara sultan-sultan Hindu di Jawa dan sebagainya. Mereka juga mendirikan madrasah modern pertama di Indonesia (1905) Jamiatul Khair.

Dari : Adie Atmanegara

Dodol Betawi

Makna Kebersamaan dalam Pembuatan Dodol Betawi


Pada zamannya, dodol Betawi tak pernah lepas dari setiap acara bagi warga asli Jakarta. Mulai hajatan hingga upacara keagamaan pasti tak luput dari panganan yang terasa kenyal dan manis ini. Itu dulu, sekarang dodol seperti barang langka dan hanya dapat ditemui saat Lebaran. Toh… di tengah gerusan makanan modern ada satu warga yang coba mempertahankan makanan asli Betawi ini demi mempertahankan warisan kekayaan kuliner asli Jakarta.
Dilihat dari pembuatan dodol, ternyata tersirat makna sosial. Karena begitu sulit dalam membuat dodol, maka semangat gotong royong, keriangan dan semangat persaudaraan diperlukan dalam pembuatannya. Maka tak heran masyarakat Betawi begitu menganggap pembuatan dodol Betawi merupakan kerja tim dan bertujuan mempererat tali persaudaraan.
Dulu dalam praktiknya, pembuatan dodol Betawi dilakukan secara patungan ketika mendekati hari raya Idul Fitri atau Lebaran. Keluarga besar Betawi yang dulunya hidup berdekatan, saling melengkapi bahan dasar pembuatan dodol. Begitu bahan tersedia, para pria bertugas membuat dodol Betawi dan mengaduk adonan. Sedangkan para wanitanya menyiapkan semua bahan yang dibutuhkan. Sambil menunggu dodol matang, ibu-ibu menyiapkan makan berbuka puasa, setelah matang, langsung dibagi secara adil berdasarkan seberapa besar keluarga memberikan `uang` dodol. Ini adalah sekelumit cara pembuatan dodol zaman dulu.
Kini untuk tahu cara pembuatan dodol, bisa menengok ke rumah Hj Masitoh atau yang biasa dipanggil Mak Mamas. Warga asli Batuampar, Condet, Jakarta Timur ini masih coba mempertahankan kekayaan kuliner asli Betawi tersebut. Waktu masih menunjukkan pukul 06.00, tapi Mak Mamas sudah disibukkan dengan rutinitasnya sebagai perajin dodol. Mak Mamas adalah satu dari belasan perajin dodol yang tersebar di beberapa wilayah mencoba bertahan. Dari pewaris resep keluarga ini, beritajakarta.com, berkesempatan melihat secara langsung bagaimana cara pembuatan dodol Betawi. Tak hanya itu, bahkan Mak Mamas mau menjelaskan secara gamblang mengenai bahan-bahan apa saja yang digunakan dalam membuat dodol Betawi hingga cara pemasarannya.
Dari pengakuannya, proses pembuatan dodol Betawi bukanlah hal yang mudah. Untuk membuatnya perlu tenaga ekstra dalam mengaduk adonan dodol. Maklum saja satu panci kuali besar dengan diameter satu meter, adonan dodol harus diaduk selama tujuh jam tanpa berhenti. “Kalau berhenti adonan akan keras dan rasanya tidak merata,” kata Mak Mamas kepada beritajakarta.com, Selasa (16/6).
Untuk membuat dodol Betawi sebanyak satu kuali, Mak Mamas memerlukan beberapa bahan dasar berupa gula merah sebanyak tiga peti, gula pasir empat plastik, santan kelapa tiga ember, dan 10 liter ketan hitam. Beberapa adonan dasar tersebut kemudian dicampur menjadi satu ke dalam kuali besar yang nantinya dapat menghasilkan 20 besek dodol Betawi.
Setelah tujuh jam proses pengadukan adonan, kemudian dodol Betawi yang masih dalam kuali dipindahkan ke dalam tempat yang bersih lalu dikemas dalam plastik berukuran kurang lebih 10 sentimeter atau besek. Mak Mamas mengaku untuk satu plastik dodol Betawi harganya Rp 12.500 sedangkan kemasan besek dijualnya seharga Rp 35.000.
Dodol Betawi rasanya begitu legit dan lezat. Sama seperti dodol yang lain, dodol Betawi terasa lembek dan lengket saat di makan. Agar rasanya tidak monoton, kini ada beberapa ras yang dicampurkan seperti, dodol durian, dodol nangka cipedak, dodol lapis, dodol ketan, dan dodol Kole. Dodol kole merupakan dodol muda atau dodol setengah matang dengan rasa manis bercanpur gurih.
Jelang Lebaran, dodol Betawi banyak diproduksi. Bahkan pembuatannya dapat puluhan kali lipat dibanding hari biasa. Maklum saja, makanan ini menjadi makanan kas Lebaran pada masyarakat Betawi. ” Kalau hari biasa kita buat dua kuali, tapi kalau Lebaran bisa sampai 400 kuali yang dikerjakan 30 orang. Biasanya kita mulai buat memasuki 10 hari puasa hingga jelang Lebaran,” kata Mak Mamas.
Usaha Warisan Keluarga
Tak terpikir sebelumnya oleh Hj Masito atau Mak Mamas untuk menjalankan usaha dodol Betawi. Lantaran keluarga mertua (orangtua suami) menjalankan usaha dodol Betawi, mau tak mau Mak Mamas terpaksa menggelutinya. Dukungan orangtua untuk melestarikan masakan asli Betawi ini pun ditekuninya dari waktu ke waktu.
Hingga pada tahun 1980, Mak Mamas berusaha membuka usaha sendiri bersama sang suami. Hal itu dilatarbelakangi dari usaha mertua yang banyak digandrungi masyarakat.Tapi usaha dijalaninya tak semulus harapan. Awalnya Mak Mamas gagal dalam membuat adonan. “Dulu dicoba sampai 15 kuali selalu gagal. Mungkin rasanya kurang enak karena bahannya juga kurang pas,” kenang Mak Mamas.
Meski demikian Mak Mamas tak patah arang. Berkali-kali dirinya mencoba membuat dodol dengan rasa yang enak dan legit. Kebulatan tekad menjalani usaha keluarga begitu kencang hingga akhirnya berhasil membuat dodol dengan rasa yang pas seperti milik sang mertua. Usahanya pun mulai dikenal mulai tahun 1985. Pesanan dari luar daerah pun terus berdatangan.
Saat ini dodol buatan Mak Mamas menjadi dodol asli di kawasan Condet, Jakarta Timur. Dodol miliknya pun menjadi satu-satunya dodol Betawi yang masih bertahan di Condet. “Dulu ada beberapa pembuat dodol lain, tapi lama kelamaan mereka tutup lantaran tak adanya pekerja yang mau mewariskan masakan dodol Betawi ini,” kata Mak Mamas.
Mak Mamas mengaku usaha yang turunan ini akan diwariskan kepada enam anaknya. Hingga saat ini seluruh anaknya sudah dapat membuat dodol Betawi dengan kombinasi bahan yang pas dan menghasilkan rasa yang begitu enak. “Dulu dari kecil sudah diajarin cara membuatnya. Sekarang udah pada gede udah pada paham gimana buatnya,” kata Mak Mamas.
Dari usaha yang dijalaninya selama 29 tahun ini, Mak Mamas telah dapat merasakan hasilnya. Tak hanya dapat mencukupi kebutuhan keluarga, tapi dari hasil ini Mak Mamas dapat menjalankan ibadah Haji dan membeli kendaraan pribadi. Mak Mamas mengaku, selain melayani pesanan, dirinya juga mempekerjakan orang untuk menyalurkan produksi dodol Betawi ke warung-warung.
Dari tangan lembut seorang Mak Mamas inilah diharapkan keberadaan dodol Betawi dapat dilestarikan. Bahkan mulai dari usaha yang dilakukannya, diharapkan pula dodol Betawi dapat kembali menjadi tuan rumah di tanah Betawi.

Dari : Adie Atmanegara

TARI COKEK BETAWI (Dulu dibina oleh para cukong peranakan Cina)

Dalam sejarah kesenian Betawi, Cokek merupakan salah satu hiburan unggulan. Selain luas penyebarannya juga dengan cepat banyak digemari masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran. Pada kurun waktu itu hampir tiap diselenggarakan pesta hiburan, baik perayaan perjamuan hajatan perkawinan hingga pesta pengantin sunat. Dan ragam acara yang bersifat pesta rakyat. Disanalah para penari Cokek mempertunjukan kepiawaiannya menari sambil menyanyi. Barangkali memang kurang afdol jika penari cokek sekadar menari. Karenanya dalam perkembangannya selain menari juga harus pintar olah vokal alias menyanyi dengan suara merdu diiringi alunan musik Gambang Kromong. Jadi temu antara lagu dan musik benar-benar tampil semarak alias ngejreng beeng.

Sayang sekali dalam buku “Ikhtisar Kesenian Betawi” edisi Nopember 2003 terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, yang ditulis oleh H. Rachmat Ruchiyat, Drs. Singgih Wibisono dan Drs. H. Rachmat Syamsudin, tidak menyebutkan sejak kapan jenis tarian Cokek itu muncul ke permukaan. Tidak disebutkan pula secara jelas siapa tokoh atau pelaku pertama yang memperkenalkan tarian egal-egol sembari menggoyang-goyangkan pinggulnya yang kenes. Tentulah ada kegenitan lain yang dimunculkan oleh para penari tersebut untuk menarik lawan jenisnya, Ditambah kerlingan mata sang penari yang indah memikat para tamu lelaki untuk ikutan ngibing berpasangan di panggung atau pelataran rumah warga. Orang Betawi menyebut Tari Ngibing Cokek. Selama ngibing mereka disodori minuman tuak agar bersemangat. Mirip dengan Tari Tayub dari Jawa Tengah.

Tamu terhormat
Begitu indah dan familiarnya jenis tarian ini. Para penari wanita yang berdandan dan bersolek menor, wajahnya diolesi bedak dan bibir bergincu, ditambah aroma wewangin minyak cap ikan duyung. Pada tarian pembukaan para penari berjoget dalam posisi berjajar ke samping, mirip posisi jejer panggung kesenian Ketoprak Jawa. Mereka merentangkan tangan setinggi bahu, sambil melangkahkan gerak kaki maju-mundur diiringi lagu-lagu khas Gambang Kromong. Kemudian mereka mengajak menari kepada para tamu yang hadir dengan mengalungkan selendang. Penyerahan selendang biasanya diberikan kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila sang tamu bersedia menari maka mereka pun mulai menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pasangan yang menari saling membelakangi. Kalau kebetulan tempatnya luas, ada beberapa penari berputar-putar membentuk lingkaran. Selesai menari, para tamu pengibing memberikan imbalan berupa uang kepada penari cokek yang melayani. Lumayan, dalam semalam tiap penari cokek bisa mengumpulkan uang yang cukup banyak jumlahnya. Bisa dibelanjakan barang-barang kebutuhan pribadi seperti pakaian, sepatu, sandal atau apa saja menurut kesenangan mereka.

Fungsi ekonomi
Dari sisi ini bisa ditafsirkan bahwa jenis tarian Cokek menyandang fungsi ekonomi. Para Wayang Cokek selain mendapat imbalan berupa uang dari penanggap juga mendapat tip dari para lelaki yang berhasil digaet ngibing bersama. Dulu boleh dibilang para seniwati Cokek mendapat penghasilan ajeg karena seringnya ditanggap. Beda dengan masa kini dimana jenis kesenian Cokek kurang mendapat pasaran. Di zaman teknologi modern, generasi baru Betawi di kota mau pun pinggiran merasa lebih senang menanggap musik Orgen tunggal yang menampilkan penyanyi dangdut berbusana seronok. Kemajuan dan pergeseran zaman memang sulit dicegah. Sekarang orang lebih suka memilih hiburan yang serba instan di depan layar televisi. Barangkali agar jenis kesenian Cokek tidak punah, hendaknya lembaga pemerintah daerah yang menangani jenis kesenian Betawi melakukan tindakan preventif pembinaan yang cukup gencar dan terus menerus.
Barangkali bisa menjadi contoh soal, sejak dahulu kala atau mungkin hingga sekarang penari Cokek tampil santun mengenakan busana yang menutup seluruh badan. Biasanya penari cokek memakai baju kurung dan celana panjang serta selendang melingkar dililitkan dibagian pinggang. Kedua ujung selendang yang panjang menjulur ke bawah. Fungsi selendang selain untuk menari juga bisa untuk menggaet tamu laki-laki untuk menari bersama. Keindahan busana itu pun tampak gemerlap terbuat dari kain sutera atau saten berwarna ngejreng banget, merah menyala, hijau, kuning dan ungu, temaram mengkilap berkilauan jika tertimpa cahaya lampu patromaks
Unsur hias pun terdapat di bagian kepala Wayang Cokek (sebutan bagi penari cokek). Dimaksud agar tampak lebih cantik dan indah jika kepala digoyang-goyangkan kekiri dan kekanan. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Ada lagi yang dikepang disanggulkan dengan tusuk konde jaran goyang seperti rias pengantin Jawa. Ditambah hiasan dari benang wol dikepang atau dirajut yang menurut istilah setempat disebut burung hong.

Hidup enggan-mati ogah
Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, tari Cokek pada zaman dahulu dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya rata. Jauh sebelum Perang Dunia ke II meletus tari Cokek dan musik Gambang Kromong dimiliki cukong-cukong golongan Cina peranakan. Bisa dilihat dari lagu yang iramanya mirip lagu dari negerinya konglomerat Liem Swi Liong. Cukong-cukong peranakan Cina itulah yang membiayai kehidupan para seniman penari Cokek dan Gambang Kromong. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan untuk tempat tinggal khusus mereka. Di zaman merdeka seperti sekarang ini, tidak ada lagi yang secara tetap menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka. Ibaratnya seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Walau pun sejak kurun waktu belakangan ini telah berdiri kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, namun cara pembinaannya masih belum maksimal. Sehingga kesenian Cokek sekarang sepertinya berada di ujung tanduk, hidup enggan mati pun ogah.

Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II