Perabotan Lenong

Aku Bangga Jadi Anak Betawi

Jumat, 09 Maret 2012

Ulama Betawi

Belajar dari Kegigihan Ulama Betawi
Sejarah Indonesia di masa kolonial tidak dapat dipisahkan dari Thomas Stanford Raffles yang berkuasa pada pemerintahan Inggris (1811-1816). Selama di Indonesia, dia memerhatikan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Memberikan perhatian besar terhadap kiprah para ulama Betawi. Pendiri kota Singapura yang tinggal di Risjwijk (kini Jl Segara) di gedung yang sekarang ini menjadi Bina Graha, tempat kegiatan Kepala Negara, itu pernah memuji kegigihan ulama Betawi. Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap sebagai Lembaga Kesenian yang anggota-anggotanya beragama Kristen, Raffles meminta mereka belajar dari keberhasilan para ulama Betawi dalam menyebarkan Islam.
Pada awal abad ke-19, Alquran sudah menjadi bacaan di kampung-kampung dan masyarakatnya sangat menghormati para ulama dan mubaligh mereka yang dengan gigih mengajarkan Islam dari kampung ke kampung.
Tampaknya penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga dia meminta organisasi orang-orang Nasrani mencari jalan keluar mengimbangi para mubaligh Islam. ”Jika sukses para mubaligh ini terus menerus dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” ujar Raffles.
Karena itulah seorang orientalis Belanda, Prof C Snouck Hurgronye, menyatakan bahwa Islam adalah musuh utama mereka dan keturunan Arab lantas dianggap sebagai musuh utama pula.
Seperti layaknya Perang Salib, sekalipun Belanda tidak sekeras Spanyol, tapi menunjukkan kebencian terhadap ulama dan kiai. Untuk itu, menurut risalah Arabithah Alawiyah, pada 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak terhadap pendidikan. Di antaranya tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau pengajian . Kebijakan ini diambil lantaran sejak lahirnya Jamiat Khair (1905), banyak pendidikan Islam bermunculan. Kegigihan warga Betawi terhadap Islam diakui Hamka. Ia berkata, ”Antara penjajah dan anak negeri seperti minyak dan air meski keduanya dimasukkan dalam botol, tapi tidak bisa bercampur.”

Shaikh Junaid Al Betawi
Ruang lingkup kajian ulama Betawi abad ke-19 tidak dapat dipisahkan dengan Shaikh Junaid Al Betawi sebagai sumber pangkalnya hingga sekarang (Rachmad Zailani Kiki).

Shaikh Junaid –kelahiran Pekojan, Jakarta Barat– sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam melahirkan ualama Betawi di kemudian hari. Dalam kajian ini, pengertian ulama Betawi dibedakan dengan pengertian habaib (bentuk jamak dari habib). Bagi masyarakat Betawi sendiri, habaib sebagai bagian dari ulama yang bukan habaib. Dalam persoalan hierarki status, orang Betawi memosisikan habaib dan ulama Betawi pada posisi yang setara.
Menurut Hamka, bila perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar ke Timur Tengah.
Di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik termasuk Shaikh Junaid Al Betawi yang mengajar di Masjidil Haram. Dia banyak menghasilkan ulama terkemuka. Pada 1925 ketika Raja Ali mengaku kalah pada Ibnu Saud, dia meminta supaya orang-orang besar, selain kerabatnya, termasuk para tokoh Betawi dibebaskan. Permintaan ini disanggupi Raja Saud.
Pada 1939 Indonesia mengirimkan jamaah haji ke Tanah Suci. Tidak lama kemudian, terjadi Perang Dunia II. Mereka tidak bisa pulang ke Tanah Air karena zona laut dinyatakan sebagai zona peperangan. Raja Saud juga memberikan izin pada mereka untuk tinggal di negaranya. Di Saudi, terdapat ribuan mukimin yang berasal dari Indonesia yang sudah menjadi warga negara kerajaan itu.
Ketika saya umrah pada 2002, saya mendapati sekitar 200 pelajar dari Indonesia termasuk para mukiminnya belajar pada Sayid Muhammad Al Maliki. Di perguruan Al Maliki –sedikit di luar kota Makkah– kerajaan membolehkan kegiatan Maulid, yang menurut paham Wahabi terlarang. Ketika beliau wafat, Raja Abdullah memberikan penghormatan khusus kepadanya.

Guru Mujitaba
Seperti Shaikh Junaid, guru Mujitaba juga mendapatkan pendidikan di Arab Saudi. Muridnya antara lain guru Mansyur yang telah menulis 19 buah buku berbahasa Arab. Di samping itu, di Tanah Suci banyak ulama Indonesia yang mendapat pendidikan di Mesir, bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI. Seperti Dr H.A. Nahrawi Abdul Salam lulusan Kairo.
Sementara Habib Usman bin Yahya (lahir di Pekojan 1882), di samping bermukim di Makkah tujuh tahun dan berguru pada Syaikh Dahlan, mufti Makkah, kemudian ke Hadramaut selanjutnya ke Kairo, Tunisia, Persia, dan Suriah. Dia sangat produktif menulis. Tidak kurang 47 kitab karangannya yang masih kita dapati di Arsip Nasional RI.
Sebelum wafat, ia berpesan agar makamnya tidak dibuat kubah dan tidak menginginkan diadakan haul untuk dirinya. Makamnya di Karet, Tanah Abang, digusur pada masa Gubernur Ali Sadikin. Di antara muridnya adalah Habib Ali Alhabsyi, Kwitang (1870-1966), yang banyak menghasilkan ulama besar karena mendirikan perguruan ‘Unwanul Falah’ di samping masjid Kwitang. Masih ada ulama Betawi yang mendapatkan pendidikan di Makkah, yakni Guru Marzuki (Jakarta Timur) dan Guru Mughni (Kuningan Jakarta Selatan).
Pada 1798 VOC bangkrut akibat korupsi besar-besaran dan pada 1885 orang Arab dari Hadramaut memiliki 175 kapal laut di Batavia. Penulis Belanda abad ke-19 menyatakan, sesungguhnya pengaruh yang besar dalam penyebaran Islam adalah keturunan Arab. Di tangan merekalah tersebar Islam di antara sultan-sultan Hindu di Jawa dan sebagainya. Mereka juga mendirikan madrasah modern pertama di Indonesia (1905) Jamiatul Khair.

Dari : Adie Atmanegara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar