Perabotan Lenong

Aku Bangga Jadi Anak Betawi

Jumat, 09 Maret 2012

Rebana

Rebana terbilang kesenian yang cukup populer di Jakarta. Di daerah lain, terutama di Jawa, alat musik bermembran ini disebut “terbang”. Sebutan rebana diduga berasal dari kata Arab “robbana” (Tuhan kami). Sebutan ini muncul karena alat musik ini biasa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu bernafaskan Islam. Lama-kelamaan alat musiknya disebut “rebana”, atau “robana”, sebagaimana terjadi di daerah Ciganjur, Pondok Pinang dan sekitarnya. Hampir semua jenis rebana Betawi terdapat di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Selebihnya di Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Tangerang. Berdasarkan jenis alat, sumber syairnya, wilayah penyebarannya dan latar belakang sosial pendukungnya, rebana Betawi terdiri atas jenis-jenis berikut ini :

Rebana Biang
Di daerah lain rebana jenis ini disebut juga dengan Rebana Gede, Rebana Salun, Gembyung, dan Terbang Selamet. Disebut rebana biang karena salah satu rebananya berbentuk besar. Meski bentuknya sama, rebana biang terdiri dari empat jenis. Yang paling kecil berdiameter 20 cm biasa disebut ketog; yang bergaris tengah 30 cm disebut gendung; yang sedang bergaris tengah 60 cm dinamai kotek; yang paling besar bergaris tengah 60—80 cm dinamai biang. Karena bentuknya yang besar, rebana biang dimainkan sambil duduk dengan cara menyanggahnya dengan telapak kaki dan lutut.
Bila cara membawakan rebana jenis lain tampak khidmat dan syair-syairnya yang berasal dari bahasa Arab diucapkan dengn tajwid dan makhraj yang bagus, maka kata-kata Arab dalam orkes rebana biang diucapkan dengan lidah atau dialek setempat. Lagu rebana biang ada dua macam. Pertama, yang berirama cepat, disebut lagu Arab atau lagu nyalun, seperti Rabbuna Salun, Allahah, Allah Aisa, Allahu Sailillah, dan Hadro Zikir. Kedua, yang berirama lambat, disebut lagu rebana atau lagu Melayu, antara lain Alfasah, Alaik Soleh, Dul Sayiduna, Dul Laila, Yulaela, Sollu Ala Madinil Iman, Anak Ayam Turun Selosin, Sangrai Kacang.
Kebanyakan kelompok rebana biang yang lebih dekat dengan kota Jakarta, seperti rebana biang Ciganjur, lebih banyak memiliki perbendaharaan laku-laku “dikir” berbahasa Arab atau lagu-lagu berlirik bahasa Betawi, atau bahasa Sunda, yang bagi senimannya sendiri kurang dipahami artinya. Sementara kelompok-kelompok rebana biang di daerah pinggiran, seperti Pondok Rajeg, Cakung, Ciseeng dan Parung dalam pergelaran ada juga yang menambahkan alat-alat musik lain, seperti terompet, rebab, tehyan, bahkan biola. Penambahan ini untuk menggantikan lagu-lagu “dikir”. Di samping untuk mengiringi nyanyian atau “dikir”, rebana biang juga biasa digunakan untuk mengiringi tarian Blenggo atau “Blenggo Rebana”. Sementara teater yang biasa diiringi dengan rebana biang adalah Blantek.
Dahulu grup rebana biang banyak tersebar seperti di Kalibata Tebet, Condet, Kampung Rambutan, Kalisari, Ciganjur, Bintaro, Cakung, Lubang Buaya, Sugih Tanu, Ciseeng, Pondok Cina, Pondok Terong, Sawangan, Pondok Rajeg, Gardu Sawah, Bojong Gede, dan sebagainya. Yang kini masih bertahan grup rebana biang Pusaka pimpinan Abdulrahman di Ciganjur. Namun personel grup ini sebagian besar sudah tua. Sebelumnya ada kelomok rebana biang Kong Sa’anan yang sangat terkenal di era 1950-an karena dipercaya memiliki “ronggeng gaib” yang mampu menyedot dan menghipnotis penonton sehingga sukarela bertahan sampai pagi.

Rebana Ketimpring
Sebutan Rebana Ketimpring mungkin karena adanya tiga pasang “kerincingan”, yakni semacam kercek yang dipasang pada badannya, yang terbuat dari kayu yang menurut istilah setempat disebut “kelongkongan”. Tapi tidak semua rebana berkerincingan disebut rebana ketimpring, ada pula yang bernama rebana hadroh dan rebana burdah.
Rebana ketimpring jenis rebana yang paling kecil. Garis tengahnya hanya berukuran 20 sampai 25 cm. Dalam satu grup ada tiga buah rebana. Ketiga rebana itu mempunyai sebutan rebana tiga, rebana empat, dan rebana lima. Rebana lima berfungsi sebagai komando. Sebagai komando, rebana lima diapit oleh rebana tiga dan rebana empat. Rebana Ketimpring mempunyai dua fungsi: sebagai Rebana Ngarak dan Rebana Maulid.

Rebana Ngarak
Sesuai dengan namanya, Rebana Ngarak berfungsi mengarak dalam suatu arak-arakan. Rebana ngarak biasanya mengarak mempelai pengantin laki-laki menuju ke rumah mempelai pengantin perempuan. Syair lagu rebana ngarak biasanya shalawat. Syair shalawat itu diambil dari kitab maulid Syarafal Anam, Addibai, atau Diiwan Hadroh. Karena berfungsi mengarak itulah, rebana ngarak tidak statis di satu tempat saja.
Gaya pukulan rebana ngarak biasanya disesuaikan dengan kesempatan. Misalnya selama perjalanan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan biasanya menggunakan pukulan “salamba”. Setelah berada di rumah pengantin perempuan biasanya digunakan gaya “sadati”. Mungkin berasal dari kata “syahadatain”, dua kalimat syahadat yang akan diucapkan oleh pengantin laki-laki di hadapan penghulu.
Rebana ngarak saat ini berkembang dengan baik. Banyak remaja dan pemuda mempelajarinya. Dalam grup rebana ngarak dipelajari pula berbalas pantun dan silat, seperti dalam upacara ngarak pengantin. Grup rebana ngarak terdapat di berbagai kampung. Misalnya di kampung Paseban, Kwitang, Karang Anyar, Kali Pasir, Kemayoran, Kayu Manis, Lobang Buaya, Condet, Ciganjur, Grogol, Kebayoran Lama, Pejaten, Pasar Minggu, Kalibata, dan lain-lain.

Rebana Maulid
Sesuai namanya rebana ini berfungsi sebagai pengiring pembacaan riwayat nabi Muhammad. Kitab maulid yang biasa dibaca Syarafal Anam karya Syaikh Albarzanji dan kitab Addibai karya Abdurrahman Addibai. Tidak seluruh bacaan diiringi rebana. Hanya bagian tertentu seperti Assalamualaika, Bisyahri, Tanaqqaltu, Wulidalhabibu, Shalla ‘Alaika, Badat Lana, dan Asyrakal. Bagian Asyrakal lebih semangat karena semua hadirin berdiri. Pembacaan maulid nabi dalam masyarakat Betawi sudah menjadi tradisi. Pembacaan maulid tidak terbatas pada bulan mulud (Rabiul Awwal) saja. Setiap acara selalu ada pembacaan maulid. Apakah khiatanan, nujuhbulanin, akekah, pernikahan, dan sebagainya.
Pukulan rebana maulid berbeda dengan pukulan rebana ngarak. Nama-nama pukulan rebana maulid disebut pukulan jati, pincang sat, pincang olir, dan pincang harkat. Dahulu ada seniman rebana maulid yang gaya pukulannya khas. Seniman ini bernama Sa’dan, tinggal di Kebon Manggis, Matraman. Sa’dan memperoleh inspirasi pukulan rebana dari gemuruh air hujan. Gayanya disebut gaya Sa’dan.

Rebana Hadroh
Pada umumnya ukuran Rebana Hadroh agak lebih besar dari rebana ketimpring. Garis tengahnya rata-rata 30 cm. Rebana hadroh terdiri dari tiga jenis. Pertama disebut Bawa, irama pukulannya cepat, dan berfungsi sebagai komando. Kedua disebut Ganjil atau Seling dan berfungsi saling mengisi dengan bawa. Ketiga disebut Gedug yang berfungsi sebagi bas. Karena itu ada pula yang menyebutnya “rebana gedug”.
Cara memainkan rebana hadroh bukan dipukul biasa tapi dipukul seperti memainkan gendang sehingga terdengar agak melodius. Jenis pukulan rebana hadroh ada empat, yaitu tepak, kentang, gedug, dan pentil. Keempat jenis pukulan itu dilengkapi dengan naman-nama irama pukulan. Nama irama pukulan, antara lain irama pukulan jalan, sander, sabu, pegatan, sirih panjang, sirih pendek, dan bima. Sementara lagu-lagu rebana hadroh diambil dari syair Diiwan Hadroh dan syair Addibaai. Yang khas dari pertunjukan rebana hadroh adalah Adu Zikir. Dalam adu zikir tampil dua grup yang silih berganti membawakan syair Diiwan Hadroh. Grup yang kalah umumnya grup yang kurang hafal membawakan syair tersebut.
Rebana hadroh pernah ada di kampung Grogol Utara, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Kalibata, Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong, dan Paseban. Salah seorang tokoh rebana hadroh yang terkenal adalah Mudehir, seorang tuna netra. Mudehir memiliki keterampilan teknis yang sempurna. Variasi pukulannya sangat kaya. Bahkan dengan pukulan kakinya pun suara rebana masih sempurna. Suaranya indah. Daya hafalnya atas syair Diiwan Hadroh sangat baik. Konon kemampuannya memainkan rebana hadroh terinspirasi dari suara pekerja pabrik batik yang mengecap kain dengan bertalu-talu. Mudehir wafat pada 1960. Sepeninggal Mudehir rebana hadroh semakin surut. Kini rebana hadroh tinggal kenangan.

Rebana Dor
Perbedaan rebana ketimpring dengan Rebana Dor adalah pada rebana dor terdapat lubang-lubang kecil pada “kelongkongnya” untuk tempat jari. Mungkin untuk memudahkan atau agar lebih enak memegangnya. Cara memegang rebana dor terkadang bertumpu pada lutut kiri kanan. Tangan kiri dan kanan bebas memukul rebana. Rebana dor adalah rebana yang fleksibel. Rebana dor dapat dimainkan bersama rebana ketimpring, rebana hadroh, bahkan dengan orkes gambang.
Ciri khas rebana dor terletak pada irama pukulan yang tetap sejak awal lagu sampai akhir. Ciri lain adalah lagu Yaliil, yaitu bagian solo vokal sebagai pembukaan lagu. Lagu Yaliil mengikuti nada atau notasi lagu membaca Qur’an, antara lain Shika, Hijaz, Nahawan, Rosta, dan lain-lain. Syair lagu rebana dor diambil dari berbagai sumber, antara lain Syarafal Anam, Mawalidil Muhammadiyah, Diiwan Hadroh, Addiibai. Sering pula dibawakan lagu-lagu dari penyanyi Mesir terkenal seperti Ummi Kaltzoum. Karena itu pula rebana dor biasa disebut “rebana lagu”.
Rebana dor lebih banyak persamaannya dengan rebana kasidah. Perkembangan rebana kasidah sangat pesat sehingga menggeser rebana dor. Lagi pula rebana kasidah lebih diminati remaja putri. Rebana dor hanya dimainkan oleh orang-orang tua. Rebana kasidah lebih enak ditonton karena pemainnya remaja putri. Rebana dor didukung pemain leki-laki yang sudah berusia lanjut. H. Naiman dari kampung Grogol Utara, Arifin dari kampung Kramat Sentiong, dan H. Abdurrahman dari kampung Klender adalah tokoh-tokoh rebana dor. Sayangnya ketiga orang ini tidak mempunyai penerus. Akibatnya rebana dor tidak berkembang.

Rebana Kasidah
Rebana Kasidah termasuk yang paling populer. Setiap kampung terdapat grup rebana kasidah. Rebana kasidah dianggap sebagai perkembanagan lebih lanjut dari rebana dor. Sejak awal rebana kasidah sudah disenangi, khususnya oleh remaja putri. Ini yang membuat pesatnya perkembangan rebana kasidah. Tidak ada unsur ritual dalam penampilan rebana kasidah. Maka rebana kasidah bebas bermain di mana saja dan dalam acapa apa saja. Lirik-lirik yang dinyanyikan tidak terbatas pada lirik-lirik berbahasa Arab, melainkan yang berbahasa Indonesia.
Ada yang beranggapan kepopuleran rebana kasidah karena ia lazim dimainkan oleh perempuan. Di masa lalu hampir semua madrasah memiliki kelompok rebana kasidah. Bahkan di era 1970 sampai 1980-an festival kasidah marak dilaksanakan. Grup pemenang festival ditampilkan pada acara-acara penting. Ada pula grup yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam pita kaset dan laris dijual. Penyanyi rebana kasidah yang terkenal adalah Hj. Rofiqoh Darto Wahab, Hj. Mimi Jamilah, Hj. Nur Asiah Jamil, Romlah Hasan, dan lain-lain. Menurut catatan Lembaga Seni Qasidah DKI Jakarta pada 10 tahun lalu jumlah ogranisasi rebana kasidah sekitar 600 kelompok.

Rebana Maukhid
Ukuran jenis rebana ini lebih besar dari rebana hadroh, sekitar 40 cm. Munculnya jenis kesenian rebana maukhid tidak lepas dari nama Habib Hussein Alhadad. Habib inilah yang mengembangkan rebana maukhid. Habib Hussen mempelajari kesenian rebana dari Hadramaut. Rebana maukhid yang asli hanya dua buah, tapi ia mengembangkannya menjadi empat sampai 16 buah. Profesi sehari-hari Habib Hussein adalah muballig. Untuk lebih memeriahkan tablig setiap malam Jumat, Habib Hussein menyanyikan shalawat diiringi rebana. Syair shalawat yang dinyanyikan diambil dari karya Abdullah Alhadad.
Rebana maukhid dapat dimainkan tanpa terikat jumlah pemain, tergantung jumlah pemain dan tempat pertunjukannya, sehingga bisa dimainkan oleh dua, tiga, empat, bahkan 16 orang. Keberadaan rebana maukhid bukan semata-mata untuk pertunjukan, tapi sebagai pengis acara tablig. Tidak ada rancangan khusus berkenaan dengan pementasan. Apalagi rencana pengembangan dan perluasan wilayah. Rebana maukhid hanya ada di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kalaupun di daerah lain ada Rebana Maukhid, mungkin dilakukan oleh murid Habib Hussein Alhadad.

Rebana Burdah
Garis tengah Rebana Burdah lebih besar dari rebana maukhid, sekitar 50 cm. Penamaan rebana burdah mungkin karena nama grupnya, yaitu “Burdah Fiqah Ba’mar” yang dipimpin oleh Sayid Abdullah Ba’mar. Mungkin juga dinamakan demikian karena biasa membawakan “qaida” (salah satu bentuk puisi Arab) Alburda yang terdapat di kitab Majemuk atau Mawalid. Rebana jenis ini hanya ada di Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan dan dikembangkan oleh Abdullah Ba’mar. Para pemainnya semula berasal dari keluarga Ba’mar, Amzar, dan Kathum yang kesemuanya merupakan imigran Arab asal Mesir.
Kehadiran Firqah Burdah Ba’mar awalnya untuk mengisi waktu luang menjelang atau sesudah pengajian. Dengan disajikannya rebana burdah, pengajian terasa lebih meriah dan tidak membosankan. Karena main di forum pengajian, lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri yang berisi puji-pujiab kepada Nabi Muhammad. Pada umumnya lagu-lagu burdah berirama 4/4 dimainkan sambil duduk bersila, sedangkan lagu-lagu yang berirama lebih cepat biasa disebut “Fansub” dimainkan sambil berdiri.

Dari : Jabir Sofyan Khamal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar