Perabotan Lenong

Aku Bangga Jadi Anak Betawi

Jumat, 09 Maret 2012

Asal Muasal Petasan Di Tanah Betawi



Historisitas petasan
Dalam beberapa literatur Cina dicatat bahwa bubuk mesiu pertama kali ditemukan pada masa Dinasti Sung (960-1279). Orang Cina menemukan bubuk mesiu yang merupakan campuran dari potasium nitrat, sulfur, hingga charcoal yang jika digabungkan dengan oksigen akan menimbulkan ledakan dan cahaya yang menyembur. Selain digunakan dalam peperangan ketika Cina hendak menghadang ekspansi Mongol yang dipimpin oleh Kaisar Kubelai Khan pada tahun 1279, mesiu juga digunakan untuk penyemarakan pesta tradisi Cina yaitu pernikahan dengan spiritualitas dasar: mengusir roh-roh jahat yang bisa saja mengganggu perayaan dan pesta.
Tradisi petasan dan kembang api sendiri bermula di Cina pada abad Ke-11, dan kemudian menyebar ke Jazirah Arabia pada abad ke-13 dan selanjutnya ke daerah-daerah lain. Tradisi petasan dibawa oleh Orang Tiong Hoa yang datang dan menetap di Indonesia. Orang Tiong Hoa yang datang pertama kali di nusantara khususnya di Jawa yaitu seorang pendeta Budha Fa Hien (Faxien). Ia datang ke Jawa pada tahun 413. Ia mendapati pulau Jawa tidak ada orang Tiong Hoa. Ia kembali ke Cina. Selanjutnya dalam banyak literatur dicatat bahwa orang Tiong Hoa yang datang ke Indonesia ternyata hanya berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwang Tung.
Secara historis kedatangan bangsa Tiong Hoa di Indonesia melalui tiga tahap. Tahap pertama yaitu tahap kerajaan. Orang-orang yang datang pada tahap ini kebanyakan para pedagang. Karena melihat musim angin yang baik, mereka ini berlayar dan akhirnya sampai di perairan Indonesia.
Tahap kedua yaitu setelah kedatangan bangsa Eropa di Asia Tenggara pada abad ke-16. Motif kedatangan mereka sampai ke Indonesia yaitu masih perdagangan. Kedatangan Inggris, Spanyol, Belanda dan Portugis mmenambah semangat orang Tiong Hoa untuk berdagang.
Tahap ketiga yaitu saat Indonesai di bawah Pemerintahan Belanda. Orang-orang Tiong Hoa kebanyakan berada di pesisir utara Pulau Jawa untuk berdagang. Selain itu, kehadiran mereka juga dikarenakan oleh kebijakan Pemerintah Belanda yang dengan sengaja mendatangkan orang Tiong Hoa sebagai tenaga kerja di proyek-proyek pertambangan dan pelabuhan.

Adaptasi budaya Betawi
Seorang sejarawan Betawi yaitu Alwi Shahab meyakini bahwa tradisi pernikahan orang Betawi yang menggunakan petasan untuk memeriahkan suasana merupakan adopsi tradisi orang-orang Tiong Hoa yang bermukim di sekitar mereka.
Catatan sejarah yang cukup mencolok terkait dengan peristiwa 1740 yaitu kerusuhan etnis Tiong Hoa di Batavia. Pada tahun ini terjadi pembantaian 10.000 orang etnis Tiong Hoa yang tak berdosa di Ommelanden, daerah pinggiran atau pedalaman Batavia. Pembantaian itu dilatarbelakangi persaingan dagang. Pedagang Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis kalah bersaing dengan pedagang Tiong Hoa sehingga mereka menghasut penduduk kota Batavia untuk membantai etnis Tiong Hoa. Meski demikian, ada versi lain yaitu terkait kerawanan sosial karena banyaknya penduduk Tiong Hoa yang menjadi pengangguran. Dengan alasan inilah Pemerintah Belanda membantai mereka.
Tidak jelas motif pembantaian etnis Tiong Hoa tahun 1740 itu. Tapi satu hal yang jelas yaitu etnis Tiong Hoa di Batavia kalang kabut setelah peristiwa pembantaian itu. Mereka melarikan diri ke daerah-daerah pinggiran di Batavia seperti Tangerang, Parung, Serpong, Parung Panjang, Tenjo, Cisauk, Teluk Naga dan Balaraja. Mereka ini lantas disebut Cina Benteng. Mereka ini ternyata membawa terus adat kebiasaan mereka seperti menyalakan petasan menjelang perayaan Peh Cun atau perayaan tradisi Cina lainnya. Parung Panjang, sebuah kota di sebelah barat Serpong sampai saat ini masih dikenal sebagai pusat penghasil petasan terbesar di Indonesia.

Sekularisasi makna
Dalam perjalanan waktu, tradisi menyalakan petasan ini ditiru oleh orang-orang Betawi hingga kini, teristimewa menjelang pesta perkawinan atau khitanan. Itu tidak berhenti di situ saja, ternyata dalam perkembangan waktu petasan memeriahkan bulan suci puasa bagi umat Islam. Arti simbolis petasan dalam tradisi Cina dan Betawi yaitu sebagai alat komunikasi. “Pada jaman dulu jarak rumah penduduk berjauhan. Untuk memberitahu bahwa ada pesta pernikahan atau khitanan orang menyalakan petasan, “ungkap Alwi Shahab sejarawan Betawi. Selain itu, petasan juga dipakai sebagai sarana untuk memberitahu para undangan dan khalayak ramai bahwa pesta segera dimulai. Kebudayan Betawi tidak statis, tetapi dinamis dan berkembang sepanjang waktu. Ia menyerap berbagai unsur budaya baik lokal maupun global dan mengolahnya menjadi bagian dari tradisi.
Makna petasan dari waktu ke waktu terus mengalami sekularisasi. Pada kebudayaan Cina ada unsur mistisnya yaitu mengusir roh-roh jahat, pada kebudayaan Betawi berkembang menjadi sarana komunikasi dan pada bulan suci puasa semakin sekular yaitu penyemarakan suasana waktu buka puasa maupun saat sahur. Petasan menjadi bagian dari entertainment.

Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Permainan Betawi Kuda Bisik

Pernah dengar nama ‘KUDA BISIK’? Yakni sebuah permainan tradisional yang sering dimainkan pada masa masyarakat belum mengenal internet dan tidak terlalu terpikat dengan televisi.

Kuda Bisik terkenal sebagai salah satu permainan yang dimainkan rakyat Betawi (warga Jakarta) tempo dulu. Sama dengan permainan Galasin (Gobak Sodor), Petak Jongkok, Petak Umpet dan Nenek Gerondong, permainan ini tidak memerlukan alat bantu untuk memainkannya. Dulu ketika saya masih kecil (usia TK hingga SD), ketika nenek dan kakek saya masih hidup dan ketika kami keluarga besar masih sering berkumpul di rumah nenek-kakek di bilangan Jakarta Pusat, saya beserta para sepupu dan beberapa tetangga sering memainkan permainan ini khususnya di malam takbiran.
Sederhana saja aturan dalam permainan Kuda Bisik ini. Berikut syarat dan cara memainkannya.
Syarat:
  1. Bentuk 2 Tim yang setidaknya terdiri atas 3 orang atau lebih pada masing-masing tim.
  2. 1 orang yang bertugas sebagai juri (orang yang dibisiki).
Cara bermain:
  1. Dua tim berdiri berhadapan. Sementara juri berdiri atau duduk di antara kedua tim.
  2. Lakukan suit atau undian koin untuk menentukan tim mana yang lebih dulu memulai permainan. Salah satu anggota dari tim (misal: Tim A) yang menang harus menghampiri juri dan membisikkan nama salah satu anggota dari  tim lawan mereka. Kemudian giliran tim lawan (misal: Tim B) menghampiri juri dan melakukan hal yang sama, yakni membisikkan nama salah satu anggota dari tim yang menjadi lawannya.
  3. Jika salah satu anggota (misal: dari Tim A) yang menghampiri juri adalah orang yang namanya disebut (dibisiki) ke telinga juri oleh tim lawan (Tim B), maka Tim A harus mendapatkan hukuman karena tim lawan berhasil menebak siapa orang (nama) yang akan menghampiri juri selanjutnya).
  4. Tim A yang kalah tadi akan dihukum dengan menggendong lawannya dengan cara gendong kuda. Jika tak bisa gendong kuda, maka Tim A harus dihukum dengan cara lain sesuai hasil yang telah dikompromikan. Setelah hukuman selesai, permainan pun dilanjutkan dengan cara yang sama.
Begitulah permainan Kuda Bisik. Intinya adalah menebak siapa anggota dari tim lawan yang akan maju menghampiri juri (si kuda bisik). Dilihat dan dibayangkan sepertinya tidak seru ya. Tapi jika dimainkan secara langsung apalagi dengan hati yang lepas dan berbahagia, wah permainan itu sangat seru sekali. Dapat berfungsi untuk mempererat persaudaraan antar teman dan tetangga. Maklum dulu benar-benar belum zamannya internet dan jejaring sosial booming seperti sekarang ini.

Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Kubah Emas atau Masjid Dian Al Mahri

Masjid Dian Al Mahri atau lebih dikenal sebagai kubah emas begitu fenomenal dalam kurun waktu setahun belakangan. Masjid ini menjadi ikon dan magnet baru bagi muslim Indonesia.

Masjid ini membuat takjub siapapun yang pernah melihatnya, yaitu kubahnya yang terbuat dari emas. Tak heran jika masjid tersebut lebih dikenal dengan sebutan Masjid Kubah Emas Depok. Masjid termegah di kawasan Asia Tenggara.



Sangat luar biasa, itulah kalimat pertama yang diucapkan pengunjung saat pertama kali melihat Masjid Dian Al Mahri di Kelurahan Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok. Sebuah masjid megah berkapasitas 20 ribu jemaah tampak berdiri kokoh di atas lahan seluas 70 hektar. Bangunan masjid memiliki luas 8.000 meter persegi yang terdiri dari bangunan utama, mezanin, halaman dalam, selasar atas, selasar luar, ruang sepatu dan ruang wudu. Masjid ini mampu menampung 15 ribu jemaah shalat dan 20 ribu jemaah taklim.

Masjid yang indah dan megah ini membuat rasa penasaran pengunjung luar Jakarta untuk datang secara langsung melihat keunikan masjid ini. Mereka datang dari berbagai daerah, baik yang ada di sekitar Bogor, Bandung, maupun kota dan daerah lain di luar Jawa Barat dan Pulau Jawa. Seolah tak kenal waktu, siang dan malam pengunjung terus berdatangan silih berganti, seperti ada magnet spiritual yang begitu kuat menarik mereka.
Seperti yang dialami pengunjung bernama Rusdi. “Saya jauh-jauh datang dari Lampung ke sini karena penasaran saja ingin melihat masjid yang katanya terbuat dari emas. Tadinya saya kurang yakin, apa benar ada masjid dibuat dari emas. Tapi, setelah melihat sendiri, saya percaya,” kata pria paruh baya itu yang juga menyempatkan diri shalat Jumat di Masjid Kubah Emas.
Masjid ini telah resmi dibuka untuk umum bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, 31 Desember 2006. “Pembangunannya memang sudah berlangsung sejak tahun 1999, namun baru dibuka untuk umum 31 Desember 2006. Setelah shalat Idul Adha, pemilik masjid langsung meresmikan masjid ini.
“Saat itu, tak kurang dari lima ribu jemaah mengikuti pro-sesi peresmian masjid ini,” kata Ir H Yudi Camaro MM, pengelola Masjid Dian Al Mahri. Selain masjid, lahan di sekeliling masjid juga dijadikan islamic centre. “Ada lembaga dakwah dan rumah tinggal sebagai tempat aktivitas keagamaan di kompleks masjid ini, “tambahnya.
Secara umum, arsitektur masjid mengikuti tipologi arsitektur masjid di Timur Tengah dengan ciri kubah, minaret (menara), halaman dalam (plaza), dan penggunaan detail atau hiasan dekoratif dengan elemen geometris dan obelisk, untuk memperkuat ciri keislaman para arsitekturnya. Ciri lainnya adalah gerbang masuk berupa portal dan hiasan geometris serta obelisk sebagai ornamen.
Halaman dalam berukuran 45×57 meter dan mampu menampung 8.000 jemaah. Enam menara (minaret) berbentuk segi enam, yang melambangkan rukun iman, menjulang setinggi 40 meter. Keenam menara itu dibalut batu granit abu-abu yang diimpor dari Italia dengan ornamen melingkar. Pada puncaknya terdapat kubah berlapis mozaik emas 24 karat. Sedangkan kubahnya mengacu pada bentuk kubah yang banyak digunakan masjid-masjid di Persia dan India. Lima kubah melambangkan rukun Islam, seluruhnya dibalut mozaik berlapis emas 24 karat yang materialnya diimpor dari Italia. Sedangkan untuk parkir, disiapkan lahan seluas 7.000 meter persegi yang mampu menampung kendaraan 300 bus atau 1.400 kendaraan kecil.
Sedangkan teknologi pemasangan emas pada kubah masjid dilakukan melalui tiga cara. Pertama, dengan serbuk emas (prada). Teknik prada digunakan pada pemasangan emas di bagian mahkota pilar (tiang kapital) yang ada di dalam bagian interior masjid.
Kedua, teknik gold plating, yakni teknik pemasangan dengan pelapisan emas berbahan dasar kuningan dan tembaga. Digunakan pada pemasangan lampu gantung, railling tangga mezanin, pagar mezanin, ornamen kaligrafi kalimat tasbih di pucuk langit-langit kubah dan ornamen dekoratif di atas mimbar mihrab.
Ketiga, teknik gold mozaic solid, yakni teknik pemasangan emas dengan ketebalan tertentu, biasanya dengan ketebalan lapisan emas sekitar 2 mm. Teknik ini digunakan pada pemasangan emas di kubah utama dan kubah menara. “Teknik pemasangan emas dan lampu gantung seluruhnya dikerjakan oleh ahli dari Italia,” kata Yudi.
Masjid ini memiliki peraturan yang cukup ketat, misalnya saja anak-anak yang berumur di bawah 10 tahun dilarang masuk ke dalam masjid. Anak-anak ini hanya boleh masuk aula saja. Untuk masalah kebersihan dan kesucian masjid, disiapkan petugas keamanan yang menjaga di sekeliling mesjid. Petugas seringkali dengan ramah mengingatkan pengunjung, misalnya untuk tidak membuang sampah sembarangan atau menginjak rumput.
Di masjid inipun digelar pengajian atau acara ceramah rutin bersama beberapa ustadz yang memang menguasai bidang kajiannya masing-masing. Sehingga masjid ini tak hanya megah secara fisik tapi juga ramai dengan kegiatan-kegiatan keagamaan setiap harinya.


Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Sejarah Singkat Gong Sibolong



Sebagian besar warga Depok pasti mengetahui sebuah tugu yang berada di daerah tanah baru, Depok. Tugu itu terletak pada sebuah persimpangan jalan, sehingga jangan heran ketika tugu tersebut menjadi sebuah patokan untuk menunjukan wilayah Tanah Baru.

Namun, sedikit orang yang mengetahui apa sebenarnya Tugu tersebut, Tugu tersebut merupakan Tugu Gong Si Bolong. Dimana, terdapat replika Gong si Bolong diatas tugu tersebut. Gong si Bolong pun sekarang menjadi nama dari kelompok kesenian khas kota Depok. Tak tanggung tanggung kelompok kesenian ini pernah memenangkan juara 1 dalam pagelaran kesenian Jawa Barat Travel Exchange 2008.

Ditemukannya Gong si Bolong

Sejarah Gong si Bolong ini pun tergolong unik, karena juga merupakan sebuah cerita/legenda dari masyarakat Depok. Monitor Depok, sebuah harian lokal kota Depok,pada tanggal 10 Juli 2008 pernah menuliskan artikel terkait sejarah munculnya Gong si Bolong ini.

Kisah ini di mulai abad ke 16, saat itu Kampung Tanah Baru masih lebih banyak hutan dan rawa, dimana penduduknya sangat sedikit dan umumnya bertani. Di Kampung Tanah Baru tersebut kerap kali terdengar bunyi-bunyian suara Gamelan di malam hari, namun ketIka sumber dari suara tersebut dicari tak satu pun orang yang dapat menemukannya.
bolong
Di tahun 1648, Seorang warga bernama Pak Jimin menemukan sumber bunyi tersebut, yang ternyata memang seperangkat gamelan. Namun ternyata tidak ada orang yang memainkannya. Lokasi penemuannya adalah di sekitar curug Agung di aliran sungai krukut. Pak jimin pun hanya sanggup membawa sebuah gong yang bolong di tempat pukulnya, gendang, dan bende. Ketika Pak Jimin kembali lagi bersama beberapa tetangganya untuk menggambil sisa perangkat gamelan itu, ternyata perangkat gamelan lainnya sudah raib. Ketiga alat music tersebut akhirnya diberi nama Si Gledek, karena bunyinya yang nyaring.
Menjadi Kesenian Khas Depok
Gong si Bolong, baru dilengkapi sehingga menjadi satu set gamelan yang bisa dimainkan ketika berada di tangan Pak Tua Galung (Pak Jerah). Pak jerah melengkapinya dengan satu set gendang, dua set saron, satu set kromong, satu set kedemung, satu set kenong, terompet, bende serta gong besar. Ini pula yang menandai terbentuknya Kelompok Kesenian Gong si Bolong.
bolong2
Kelompok Kesenian ini ketika tampil menampilkan serangkaian pertunjukan antara lain ajeng, ngayuban, dan ngbing. Ajeng, adalah permainan gamelan khas Depok, yang dentumannya mirip gamelan Bali. Nayuban, merupakan penampilan tarian Khas asal tanah Baru, yang merupakan cikal bakal tarian doger karawang, dan jaipongan.
Berikut ini adalah silsilah kesenian Gong si Bolong yang bersumber dari H Holil (cucu dari H damong Putra dari Pak Tua Jimin tahun 1913)
1. Pak Tua Jimin (ciganjur)
2. Pak Anim (curug)
3. Pak Tua Galung (tanah baru)
4. Pak Saning (tanah baru)
5. Nyai Asem (tanah baru)
6. Pak Bagol (tanah baru)
7. Pak Buang Jayadi (tanah baru)
8. Pak Kamsa S atmaja (tanah baru)
9. Pak Buang Jayadii (tanah baru)
Kesenian Gong si Bolong, telah menjadi kesenian khas Depok. Terlepas benar atau tidak legenda penemuannya. Kesenian ini Patut lah dilestarikan sebagai salah satu kesenian khas dan budaya Depok.


Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Ulama Betawi

Belajar dari Kegigihan Ulama Betawi
Sejarah Indonesia di masa kolonial tidak dapat dipisahkan dari Thomas Stanford Raffles yang berkuasa pada pemerintahan Inggris (1811-1816). Selama di Indonesia, dia memerhatikan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Memberikan perhatian besar terhadap kiprah para ulama Betawi. Pendiri kota Singapura yang tinggal di Risjwijk (kini Jl Segara) di gedung yang sekarang ini menjadi Bina Graha, tempat kegiatan Kepala Negara, itu pernah memuji kegigihan ulama Betawi. Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap sebagai Lembaga Kesenian yang anggota-anggotanya beragama Kristen, Raffles meminta mereka belajar dari keberhasilan para ulama Betawi dalam menyebarkan Islam.
Pada awal abad ke-19, Alquran sudah menjadi bacaan di kampung-kampung dan masyarakatnya sangat menghormati para ulama dan mubaligh mereka yang dengan gigih mengajarkan Islam dari kampung ke kampung.
Tampaknya penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga dia meminta organisasi orang-orang Nasrani mencari jalan keluar mengimbangi para mubaligh Islam. ”Jika sukses para mubaligh ini terus menerus dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” ujar Raffles.
Karena itulah seorang orientalis Belanda, Prof C Snouck Hurgronye, menyatakan bahwa Islam adalah musuh utama mereka dan keturunan Arab lantas dianggap sebagai musuh utama pula.
Seperti layaknya Perang Salib, sekalipun Belanda tidak sekeras Spanyol, tapi menunjukkan kebencian terhadap ulama dan kiai. Untuk itu, menurut risalah Arabithah Alawiyah, pada 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak terhadap pendidikan. Di antaranya tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau pengajian . Kebijakan ini diambil lantaran sejak lahirnya Jamiat Khair (1905), banyak pendidikan Islam bermunculan. Kegigihan warga Betawi terhadap Islam diakui Hamka. Ia berkata, ”Antara penjajah dan anak negeri seperti minyak dan air meski keduanya dimasukkan dalam botol, tapi tidak bisa bercampur.”

Shaikh Junaid Al Betawi
Ruang lingkup kajian ulama Betawi abad ke-19 tidak dapat dipisahkan dengan Shaikh Junaid Al Betawi sebagai sumber pangkalnya hingga sekarang (Rachmad Zailani Kiki).

Shaikh Junaid –kelahiran Pekojan, Jakarta Barat– sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam melahirkan ualama Betawi di kemudian hari. Dalam kajian ini, pengertian ulama Betawi dibedakan dengan pengertian habaib (bentuk jamak dari habib). Bagi masyarakat Betawi sendiri, habaib sebagai bagian dari ulama yang bukan habaib. Dalam persoalan hierarki status, orang Betawi memosisikan habaib dan ulama Betawi pada posisi yang setara.
Menurut Hamka, bila perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar ke Timur Tengah.
Di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik termasuk Shaikh Junaid Al Betawi yang mengajar di Masjidil Haram. Dia banyak menghasilkan ulama terkemuka. Pada 1925 ketika Raja Ali mengaku kalah pada Ibnu Saud, dia meminta supaya orang-orang besar, selain kerabatnya, termasuk para tokoh Betawi dibebaskan. Permintaan ini disanggupi Raja Saud.
Pada 1939 Indonesia mengirimkan jamaah haji ke Tanah Suci. Tidak lama kemudian, terjadi Perang Dunia II. Mereka tidak bisa pulang ke Tanah Air karena zona laut dinyatakan sebagai zona peperangan. Raja Saud juga memberikan izin pada mereka untuk tinggal di negaranya. Di Saudi, terdapat ribuan mukimin yang berasal dari Indonesia yang sudah menjadi warga negara kerajaan itu.
Ketika saya umrah pada 2002, saya mendapati sekitar 200 pelajar dari Indonesia termasuk para mukiminnya belajar pada Sayid Muhammad Al Maliki. Di perguruan Al Maliki –sedikit di luar kota Makkah– kerajaan membolehkan kegiatan Maulid, yang menurut paham Wahabi terlarang. Ketika beliau wafat, Raja Abdullah memberikan penghormatan khusus kepadanya.

Guru Mujitaba
Seperti Shaikh Junaid, guru Mujitaba juga mendapatkan pendidikan di Arab Saudi. Muridnya antara lain guru Mansyur yang telah menulis 19 buah buku berbahasa Arab. Di samping itu, di Tanah Suci banyak ulama Indonesia yang mendapat pendidikan di Mesir, bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI. Seperti Dr H.A. Nahrawi Abdul Salam lulusan Kairo.
Sementara Habib Usman bin Yahya (lahir di Pekojan 1882), di samping bermukim di Makkah tujuh tahun dan berguru pada Syaikh Dahlan, mufti Makkah, kemudian ke Hadramaut selanjutnya ke Kairo, Tunisia, Persia, dan Suriah. Dia sangat produktif menulis. Tidak kurang 47 kitab karangannya yang masih kita dapati di Arsip Nasional RI.
Sebelum wafat, ia berpesan agar makamnya tidak dibuat kubah dan tidak menginginkan diadakan haul untuk dirinya. Makamnya di Karet, Tanah Abang, digusur pada masa Gubernur Ali Sadikin. Di antara muridnya adalah Habib Ali Alhabsyi, Kwitang (1870-1966), yang banyak menghasilkan ulama besar karena mendirikan perguruan ‘Unwanul Falah’ di samping masjid Kwitang. Masih ada ulama Betawi yang mendapatkan pendidikan di Makkah, yakni Guru Marzuki (Jakarta Timur) dan Guru Mughni (Kuningan Jakarta Selatan).
Pada 1798 VOC bangkrut akibat korupsi besar-besaran dan pada 1885 orang Arab dari Hadramaut memiliki 175 kapal laut di Batavia. Penulis Belanda abad ke-19 menyatakan, sesungguhnya pengaruh yang besar dalam penyebaran Islam adalah keturunan Arab. Di tangan merekalah tersebar Islam di antara sultan-sultan Hindu di Jawa dan sebagainya. Mereka juga mendirikan madrasah modern pertama di Indonesia (1905) Jamiatul Khair.

Dari : Adie Atmanegara

Dodol Betawi

Makna Kebersamaan dalam Pembuatan Dodol Betawi


Pada zamannya, dodol Betawi tak pernah lepas dari setiap acara bagi warga asli Jakarta. Mulai hajatan hingga upacara keagamaan pasti tak luput dari panganan yang terasa kenyal dan manis ini. Itu dulu, sekarang dodol seperti barang langka dan hanya dapat ditemui saat Lebaran. Toh… di tengah gerusan makanan modern ada satu warga yang coba mempertahankan makanan asli Betawi ini demi mempertahankan warisan kekayaan kuliner asli Jakarta.
Dilihat dari pembuatan dodol, ternyata tersirat makna sosial. Karena begitu sulit dalam membuat dodol, maka semangat gotong royong, keriangan dan semangat persaudaraan diperlukan dalam pembuatannya. Maka tak heran masyarakat Betawi begitu menganggap pembuatan dodol Betawi merupakan kerja tim dan bertujuan mempererat tali persaudaraan.
Dulu dalam praktiknya, pembuatan dodol Betawi dilakukan secara patungan ketika mendekati hari raya Idul Fitri atau Lebaran. Keluarga besar Betawi yang dulunya hidup berdekatan, saling melengkapi bahan dasar pembuatan dodol. Begitu bahan tersedia, para pria bertugas membuat dodol Betawi dan mengaduk adonan. Sedangkan para wanitanya menyiapkan semua bahan yang dibutuhkan. Sambil menunggu dodol matang, ibu-ibu menyiapkan makan berbuka puasa, setelah matang, langsung dibagi secara adil berdasarkan seberapa besar keluarga memberikan `uang` dodol. Ini adalah sekelumit cara pembuatan dodol zaman dulu.
Kini untuk tahu cara pembuatan dodol, bisa menengok ke rumah Hj Masitoh atau yang biasa dipanggil Mak Mamas. Warga asli Batuampar, Condet, Jakarta Timur ini masih coba mempertahankan kekayaan kuliner asli Betawi tersebut. Waktu masih menunjukkan pukul 06.00, tapi Mak Mamas sudah disibukkan dengan rutinitasnya sebagai perajin dodol. Mak Mamas adalah satu dari belasan perajin dodol yang tersebar di beberapa wilayah mencoba bertahan. Dari pewaris resep keluarga ini, beritajakarta.com, berkesempatan melihat secara langsung bagaimana cara pembuatan dodol Betawi. Tak hanya itu, bahkan Mak Mamas mau menjelaskan secara gamblang mengenai bahan-bahan apa saja yang digunakan dalam membuat dodol Betawi hingga cara pemasarannya.
Dari pengakuannya, proses pembuatan dodol Betawi bukanlah hal yang mudah. Untuk membuatnya perlu tenaga ekstra dalam mengaduk adonan dodol. Maklum saja satu panci kuali besar dengan diameter satu meter, adonan dodol harus diaduk selama tujuh jam tanpa berhenti. “Kalau berhenti adonan akan keras dan rasanya tidak merata,” kata Mak Mamas kepada beritajakarta.com, Selasa (16/6).
Untuk membuat dodol Betawi sebanyak satu kuali, Mak Mamas memerlukan beberapa bahan dasar berupa gula merah sebanyak tiga peti, gula pasir empat plastik, santan kelapa tiga ember, dan 10 liter ketan hitam. Beberapa adonan dasar tersebut kemudian dicampur menjadi satu ke dalam kuali besar yang nantinya dapat menghasilkan 20 besek dodol Betawi.
Setelah tujuh jam proses pengadukan adonan, kemudian dodol Betawi yang masih dalam kuali dipindahkan ke dalam tempat yang bersih lalu dikemas dalam plastik berukuran kurang lebih 10 sentimeter atau besek. Mak Mamas mengaku untuk satu plastik dodol Betawi harganya Rp 12.500 sedangkan kemasan besek dijualnya seharga Rp 35.000.
Dodol Betawi rasanya begitu legit dan lezat. Sama seperti dodol yang lain, dodol Betawi terasa lembek dan lengket saat di makan. Agar rasanya tidak monoton, kini ada beberapa ras yang dicampurkan seperti, dodol durian, dodol nangka cipedak, dodol lapis, dodol ketan, dan dodol Kole. Dodol kole merupakan dodol muda atau dodol setengah matang dengan rasa manis bercanpur gurih.
Jelang Lebaran, dodol Betawi banyak diproduksi. Bahkan pembuatannya dapat puluhan kali lipat dibanding hari biasa. Maklum saja, makanan ini menjadi makanan kas Lebaran pada masyarakat Betawi. ” Kalau hari biasa kita buat dua kuali, tapi kalau Lebaran bisa sampai 400 kuali yang dikerjakan 30 orang. Biasanya kita mulai buat memasuki 10 hari puasa hingga jelang Lebaran,” kata Mak Mamas.
Usaha Warisan Keluarga
Tak terpikir sebelumnya oleh Hj Masito atau Mak Mamas untuk menjalankan usaha dodol Betawi. Lantaran keluarga mertua (orangtua suami) menjalankan usaha dodol Betawi, mau tak mau Mak Mamas terpaksa menggelutinya. Dukungan orangtua untuk melestarikan masakan asli Betawi ini pun ditekuninya dari waktu ke waktu.
Hingga pada tahun 1980, Mak Mamas berusaha membuka usaha sendiri bersama sang suami. Hal itu dilatarbelakangi dari usaha mertua yang banyak digandrungi masyarakat.Tapi usaha dijalaninya tak semulus harapan. Awalnya Mak Mamas gagal dalam membuat adonan. “Dulu dicoba sampai 15 kuali selalu gagal. Mungkin rasanya kurang enak karena bahannya juga kurang pas,” kenang Mak Mamas.
Meski demikian Mak Mamas tak patah arang. Berkali-kali dirinya mencoba membuat dodol dengan rasa yang enak dan legit. Kebulatan tekad menjalani usaha keluarga begitu kencang hingga akhirnya berhasil membuat dodol dengan rasa yang pas seperti milik sang mertua. Usahanya pun mulai dikenal mulai tahun 1985. Pesanan dari luar daerah pun terus berdatangan.
Saat ini dodol buatan Mak Mamas menjadi dodol asli di kawasan Condet, Jakarta Timur. Dodol miliknya pun menjadi satu-satunya dodol Betawi yang masih bertahan di Condet. “Dulu ada beberapa pembuat dodol lain, tapi lama kelamaan mereka tutup lantaran tak adanya pekerja yang mau mewariskan masakan dodol Betawi ini,” kata Mak Mamas.
Mak Mamas mengaku usaha yang turunan ini akan diwariskan kepada enam anaknya. Hingga saat ini seluruh anaknya sudah dapat membuat dodol Betawi dengan kombinasi bahan yang pas dan menghasilkan rasa yang begitu enak. “Dulu dari kecil sudah diajarin cara membuatnya. Sekarang udah pada gede udah pada paham gimana buatnya,” kata Mak Mamas.
Dari usaha yang dijalaninya selama 29 tahun ini, Mak Mamas telah dapat merasakan hasilnya. Tak hanya dapat mencukupi kebutuhan keluarga, tapi dari hasil ini Mak Mamas dapat menjalankan ibadah Haji dan membeli kendaraan pribadi. Mak Mamas mengaku, selain melayani pesanan, dirinya juga mempekerjakan orang untuk menyalurkan produksi dodol Betawi ke warung-warung.
Dari tangan lembut seorang Mak Mamas inilah diharapkan keberadaan dodol Betawi dapat dilestarikan. Bahkan mulai dari usaha yang dilakukannya, diharapkan pula dodol Betawi dapat kembali menjadi tuan rumah di tanah Betawi.

Dari : Adie Atmanegara

TARI COKEK BETAWI (Dulu dibina oleh para cukong peranakan Cina)

Dalam sejarah kesenian Betawi, Cokek merupakan salah satu hiburan unggulan. Selain luas penyebarannya juga dengan cepat banyak digemari masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran. Pada kurun waktu itu hampir tiap diselenggarakan pesta hiburan, baik perayaan perjamuan hajatan perkawinan hingga pesta pengantin sunat. Dan ragam acara yang bersifat pesta rakyat. Disanalah para penari Cokek mempertunjukan kepiawaiannya menari sambil menyanyi. Barangkali memang kurang afdol jika penari cokek sekadar menari. Karenanya dalam perkembangannya selain menari juga harus pintar olah vokal alias menyanyi dengan suara merdu diiringi alunan musik Gambang Kromong. Jadi temu antara lagu dan musik benar-benar tampil semarak alias ngejreng beeng.

Sayang sekali dalam buku “Ikhtisar Kesenian Betawi” edisi Nopember 2003 terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, yang ditulis oleh H. Rachmat Ruchiyat, Drs. Singgih Wibisono dan Drs. H. Rachmat Syamsudin, tidak menyebutkan sejak kapan jenis tarian Cokek itu muncul ke permukaan. Tidak disebutkan pula secara jelas siapa tokoh atau pelaku pertama yang memperkenalkan tarian egal-egol sembari menggoyang-goyangkan pinggulnya yang kenes. Tentulah ada kegenitan lain yang dimunculkan oleh para penari tersebut untuk menarik lawan jenisnya, Ditambah kerlingan mata sang penari yang indah memikat para tamu lelaki untuk ikutan ngibing berpasangan di panggung atau pelataran rumah warga. Orang Betawi menyebut Tari Ngibing Cokek. Selama ngibing mereka disodori minuman tuak agar bersemangat. Mirip dengan Tari Tayub dari Jawa Tengah.

Tamu terhormat
Begitu indah dan familiarnya jenis tarian ini. Para penari wanita yang berdandan dan bersolek menor, wajahnya diolesi bedak dan bibir bergincu, ditambah aroma wewangin minyak cap ikan duyung. Pada tarian pembukaan para penari berjoget dalam posisi berjajar ke samping, mirip posisi jejer panggung kesenian Ketoprak Jawa. Mereka merentangkan tangan setinggi bahu, sambil melangkahkan gerak kaki maju-mundur diiringi lagu-lagu khas Gambang Kromong. Kemudian mereka mengajak menari kepada para tamu yang hadir dengan mengalungkan selendang. Penyerahan selendang biasanya diberikan kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila sang tamu bersedia menari maka mereka pun mulai menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pasangan yang menari saling membelakangi. Kalau kebetulan tempatnya luas, ada beberapa penari berputar-putar membentuk lingkaran. Selesai menari, para tamu pengibing memberikan imbalan berupa uang kepada penari cokek yang melayani. Lumayan, dalam semalam tiap penari cokek bisa mengumpulkan uang yang cukup banyak jumlahnya. Bisa dibelanjakan barang-barang kebutuhan pribadi seperti pakaian, sepatu, sandal atau apa saja menurut kesenangan mereka.

Fungsi ekonomi
Dari sisi ini bisa ditafsirkan bahwa jenis tarian Cokek menyandang fungsi ekonomi. Para Wayang Cokek selain mendapat imbalan berupa uang dari penanggap juga mendapat tip dari para lelaki yang berhasil digaet ngibing bersama. Dulu boleh dibilang para seniwati Cokek mendapat penghasilan ajeg karena seringnya ditanggap. Beda dengan masa kini dimana jenis kesenian Cokek kurang mendapat pasaran. Di zaman teknologi modern, generasi baru Betawi di kota mau pun pinggiran merasa lebih senang menanggap musik Orgen tunggal yang menampilkan penyanyi dangdut berbusana seronok. Kemajuan dan pergeseran zaman memang sulit dicegah. Sekarang orang lebih suka memilih hiburan yang serba instan di depan layar televisi. Barangkali agar jenis kesenian Cokek tidak punah, hendaknya lembaga pemerintah daerah yang menangani jenis kesenian Betawi melakukan tindakan preventif pembinaan yang cukup gencar dan terus menerus.
Barangkali bisa menjadi contoh soal, sejak dahulu kala atau mungkin hingga sekarang penari Cokek tampil santun mengenakan busana yang menutup seluruh badan. Biasanya penari cokek memakai baju kurung dan celana panjang serta selendang melingkar dililitkan dibagian pinggang. Kedua ujung selendang yang panjang menjulur ke bawah. Fungsi selendang selain untuk menari juga bisa untuk menggaet tamu laki-laki untuk menari bersama. Keindahan busana itu pun tampak gemerlap terbuat dari kain sutera atau saten berwarna ngejreng banget, merah menyala, hijau, kuning dan ungu, temaram mengkilap berkilauan jika tertimpa cahaya lampu patromaks
Unsur hias pun terdapat di bagian kepala Wayang Cokek (sebutan bagi penari cokek). Dimaksud agar tampak lebih cantik dan indah jika kepala digoyang-goyangkan kekiri dan kekanan. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Ada lagi yang dikepang disanggulkan dengan tusuk konde jaran goyang seperti rias pengantin Jawa. Ditambah hiasan dari benang wol dikepang atau dirajut yang menurut istilah setempat disebut burung hong.

Hidup enggan-mati ogah
Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, tari Cokek pada zaman dahulu dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya rata. Jauh sebelum Perang Dunia ke II meletus tari Cokek dan musik Gambang Kromong dimiliki cukong-cukong golongan Cina peranakan. Bisa dilihat dari lagu yang iramanya mirip lagu dari negerinya konglomerat Liem Swi Liong. Cukong-cukong peranakan Cina itulah yang membiayai kehidupan para seniman penari Cokek dan Gambang Kromong. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan untuk tempat tinggal khusus mereka. Di zaman merdeka seperti sekarang ini, tidak ada lagi yang secara tetap menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka. Ibaratnya seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Walau pun sejak kurun waktu belakangan ini telah berdiri kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, namun cara pembinaannya masih belum maksimal. Sehingga kesenian Cokek sekarang sepertinya berada di ujung tanduk, hidup enggan mati pun ogah.

Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Khitanan Ala Betawi

Di masyarakat Betawi, sunat diartikan sebagai pembeda. Maksudnya, pembeda usia antara anak-anak dengan seseorang yang sudah akil balig. Anak yang sudah sunat dianggap sudah menjadi manusia sempurna. Yang artinya, dia sudah mempunyai kewajiban sebagai manusia dewasa. Ia wajib melakukan ibadah, memahami peraturan-peraturan yang berlaku, dan seterusnya.


Dalam adat dan istiadat orang Betawi jaman dulu, kalau seorang anak lelaki akan disunati, orangtuanya berembuk atau berdiskusi dan bermusyawarah dengan tetua atau sesepuh kampung untuk melaksanakan upacara sunat. Eh, anak yang akan disunat pun juga diajak berunding lho!
Hmm.. apa saja sih, yang dibicarakan?
1. Orangtua akan bertanya pada si anak. Sudahkah ia mau dan berani untuk disunat? Ingin ada hiburan atau tidak? Kalau ya, si anak ini yang akan memilih hiburan yang disukainya.
2. Pemilihan Bengkong atau dukun sunat. Orangtua akan memilih bengkong untuk anaknya. Mengapa begitu? Sebab, orang Betawi percaya kalau bengkong itu punya kekhasannya masing-masing. Menurut sejarahnya, bengkong yang bagus itu adalah yang punya ajian atau doa-doa mustajab yang bisa menghipnotis si anak supaya tidak merasa takut, sakit dan tidak terlalu banyak mengeluarkan darah ketika proses sunat dilakukan.
Kamu tahu tidak, jaman dulu itu dokter sangat jarang. Dokter hanya ada di kota, sementara di kampung-kampung, yang ada hanyalah bengkong atau dukun sunat.
3. Lalu, orangtua si anak dan sesepuh kampung menentukan hari pelaksanaan upacara sunat. Nah, jaman dulu, biasanya orang Betawi memilih bulan Maulid atau bulan Syawal (setelah lebaran) untuk melaksanakan upacara sunatan. Tapi sekarang, kebanyakan orangtua lebih memilih waktu liburan sekolah untuk pelaksanaan upacara sunatan.
Kalau semua hal tersebut sudah dilakukan, selambat-lambatnya 15 hari segera dilaksanakan acaranya. Konon, anak yang akan disunat biasanya sudah dilarang lompat-lompatan atau lari-larian, karena aktifitas itu akan membuat penisnya banyak mengeluarkan darah ketika disunat nanti.

Dari : Jabir Sofyan Khamal

kebudayaan betawi sebagai contoh ke anekaragaman budaya indonesia

Kebudayaan adalah identitas yang menjadi ciri khas dari suatu daerah sehingga dapat membedakan dengan daerah lainnya. Indonesia merupakan salah satu Negara Multi Cultural yang mana memiliki keanekaragaman budaya, mulai dari bahasa, pakaian, makanan khas, serta adat istiadat. Pada dasarnya, keanekaragaman budaya tersebut dapat dijadikan asset bangsa yang tak ternilai harganya.
Salah satu keanekaragaman budaya Indonesia yang menjadi identitas bagi masyarakat ibukota pada umumnya adalah Budaya Betawi yang ada di kota Jakarta sebagai ibukota Negara. Gaya bahasanya yang terdengar lucu, yang sering terucap dari para pemain kesenian Betawi seperti Lenong menunjukkan ciri khas dari masyarakat Betawi. Ceplas-ceplos dan lugas, itulah mereka. Tak hanya masyarakatnya, banyak hal dari budaya Betawi yang menunjukkan keunikan yang khas.
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata “Batavia,” yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda. Bagi kita yang tingal diJakarta, suku Betawi sesungguhnya tidaklah asing bahkan budaya betawi telah menjadi budaya dari orang-orang yang lahir dan besar di Jakarta. Dan budaya tersebut telah kita kenal sebagai budaya atau suku yang unik dan metropolis yaitu budaya Betawi.
Sejarah mengatakan, kesadaran sebagai orang betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu tuga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Sebagian besar warga Jakarta prihatin terhadap kesenian dan budaya Betawi yang mulai terkikis oleh perkembangan zaman.
Untuk dapat melihat kesenian dan kebudayaan betawi misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
  • Gambang keromong
adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat musik umum. Sebutan gambang keromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan keromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang keromong tidak lepas dari seorang pimpinan golongan Cina yang bernama Nie Hu-kong.
Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Keromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang keromong adalah tangga nada pentatonik Cina. Instrumen pada gambang keromong terdiri atas gong, gendang, suling, bonang, kecrek, dan rebab atau biola sebagai pembawa melodi.
Orkes gambang keromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendarahaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo, Lenggang-lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan, dan sebagainya.
Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang keromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya.
Gambang keromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun di daerah sekitarnya. Jika lebih banyak penduduk keturunan Cina dalam masyarakat Betawi setempat, lebih banyak pula terdapat grup-grup orkes gambang keromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat misalnya, lebih banyak jumlah grup gambang keromong dibandingkan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Dewasa ini juga terdapat istilah “gambang keromong kombinasi”. Gambang keromong kombinasi adalah orkes gambang keromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern seperti gitar melodis, bas, gitar, organ, saksofon, drum dan sebagainya, yang mengakibatkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik tanpa terasa mengganggu. Hal tersebut tidak mengurangi ke-khasan suara gambang keromong sendiri, dan lagu-lagu yang dimainkan berlangsung secara wajar dan tidak dipaksakan.
  • Tanjidor
adalah sebuah kesenian Betawi yang berbentuk orkes. Kesenian ini sudah dimulai sejak abad ke-19. Alat-alat musik yang digunakan biasanya terdiri dari penggabungan alat-alat musik tiup, alat-alat musik gesek dan alat-alat musik perkusi. Biasanya kesenian ini digunakan untuk mengantar pengantin atau dalam acara pawai daerah. Tapi pada umumnya kesenian ini diadakan di suatu tempat yang akan dihadiri oleh masyarakat Betawi secara luas layaknya sebuah orkes. Kesenian Tanjidor juga terdapat di Kalimantan Barat, sementara di Kalimantan Selatan sudah punah.

Dari : Jabir Sofyan Khamal

MACAM MACAM KEBUDAYAAN BETAWI

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.

Berbagai kesenian tradisional Betawi dapat berkembang dan digemari oleh masyarakat luas, bukan hanya masyarakat Betawi.

Berbagai kesenian tradisional Betawi dapat berkembang dan digemari oleh masyarakat luas, bukan hanya masyarakat Betawi.

Kesenian Betawi tersebut antara lain :

1. Lenong
2. Topeng Blantik.
3. Tari Topeng,
4. Ondel-ondel,
5. Tari Ronggeng Topeng
6. dan lain-lain

Seni suara dan seni musiknya adalah :

1. Sambrah,
2. Rebana,
3. Gambang kromong,
4. Tanjidor dan sejenisnya

bahkan wayangpun ada, wayang kulit Betawi mengunakan bahasa dialek Melayu Betawi.

Wayang Betawi

Wayang adalah salah satu khazanah budaya tanah air yang banyak ditemui di berbagai daerah, terutama di Jawa. Wayang yang amat dekat dengan masyarakatnya, kerap dimanfaatkan sebagai media penyebar berbagai informasi. Wayang, tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakatnya, ia mampu merubah bentuk dan tetap mendapat tempat, sekecil apapun itu

Jakarta, sebagai pusat negara, juga memiliki seni tradisional wayang. Orang banyak menyebutnya dengan wayang kulit Betawi. Jenis kesenian di Betawi ini, konon lahir ketika Sultan Agung dari Kerajaan Mataram menginjakkan kakinya di tataran Sunda Kelapa. Selain membawa pasukan, turut pula rombongan kesenian wayang kulit.


Ternyata tampilan wayang dari Mataram ini begitu memukau penduduk setempat, khususnya yang berdiam di kawasan Tambun, Bekasi. Kemudian muncullah satu bentuk baru dari wayang kulit Jawa, yaitu wayang yang berbahasa Melayu Betawi, Wayang Kulit Betawi.


Seperti halnya seni wayang lain, wayang kulit Betawi memilik tokoh sentral, seorang dalang.

Sebagaimana lazimnya, wayang kulit Betawi ini juga menggunakan kelir, yang disini disebut “kere”. Alat musik pengiringnya terdiri dari kendang, terompet, rebab, saron, keromong, kecrek, kempul dan gong. Yang tampak lain dalam wayang kulit Betawi adalah, masuknya unsur Sunda yang kental. Meski dialog dengan bahasa Betawi, namun musik pengiring hingga lantunan lagunya berasal dari tanah Pajajaran.

Sepintas, tak ada perbedaan yang berarti dengan wayang kulit lainnya. Hanya barangkali bentuk gapit atau pegangan wayang, pada wayang kulit Betawi tak dijumpai bahan tanduk, namun menggunakan rotan. Wayang kulit Betawi juga didominasi warna merah cerah.

Lakon yang sering dimainkan adalah carangan, cerita yang disusun sendiri oleh dalang dengan tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata. Cerita lain khas Betawi adalah Bambang Sinar Matahari, Cepot Jadi Raja dan Barong Buta Sapujagat. Umumnya, cerita yang dimainkan sangat kontekstual dengan keadaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, wayang kulit Betawi penampilannya lebih bebas, lebih demokratis. Logatnyapun akrab dengan masyarakat Betawi, dan dialog yang ditampilkan menggunakan bahas Indonesia pergaulan, mudah dipahami segala lapisan masyarakat dari berbagai suku.

Hanya saja, orang Betawi diyakini hanya menggemari cerita yang seru dan lucu, sehingga kedua lakon inilah yang kerap dikedepankan para dalangnya. Ada perang dan kaya banyolan.

Walau tampilannya begitu komunikatif, wayang kulit Betawi tak sepopuler wayang kulit Jawa. Selama ini, wayang kulit Betawi hanya dimainkan di daerah pinggiran, lokasi asal tumbuhnya wayang kulit Betawi. Sepanjang perjalanan riwayatnya, wayang kulit Betawi tampil dengan penuh kesederhanaan, sehingga boleh dibilang menepikan aspek estetika, moral dan falsafah.

Di balik kesederhanaan tampilannya, wayang kulit Betawi justru sebenarnya memiliki peluang untuk tumbuh. Ia memiliki kekuatan dalam penggunaan bahasa. Selama ini, bahasa kerap menjadi halangan untuk mengenal seni wayang. Pada wayang kulit Betawi, tidak. Ia justru kekuatan. Tinggal sang dalanglah yang mengemasnya menjadi sebuah tontonan memikat.

Lenong

Lenong sebagai tontonan, sudah dikenal sejak 1920-an. Almarhum Firman Muntaco, seniman Betawi terkenal, menyebutnya kelanjutan dari proses teaterisasi dan perkembangan musik Gambang Kromong. Jadi, Lenong adalah alunan Gambang Kromong yang ditambah unsur bodoran alias lawakan tanpa plot cerita.

Kemudian berkembang menjadi lakon-lakon berisi banyolan pendek, yang dirangkai dalam cerita tak berhubungan. Lantas menjadi pertunjukan semalam suntuk, dengan lakon panjang utuh, yang dipertunjukkan lewat ngamen keliling kampung. Selepas zaman penjajahan Belanda, lenong naik pangkat, karena mulai dipertunjukkan di panggung hajatan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung
Saat itu, dekornya masih sangat sederhana, berupa layar sekitar 3×5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana dengan tiang-tiangnya yang besar. Alat penerangannya pun tradisional, berupa colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah. Sebelum meningkat jadi petromaks.
Walaupun terus menyesuaikan diri dengan maunya zaman, untuk terus survive, lenong harus berjuang keras. Dan ini tak mudah. Tahun 60′-an, masih dengan mengandalkan durasi pertunjukan semalam suntuk dan konsep dramaturgi sangat sederhana, lenong mulai kedodoran. “Rasanya, kami seperti berada di pinggir jurang,” cetus S.M Ardan, sastrawan dan sineas Betawi yang kini aktif di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta.

Sambrah

Tak berlebihan rasanya bila dikatakan, nasib kesenian tradisional Betawi kini tidak ubahnya pakaian pesta yang hanya dikenakan satu tahun sekali untuk memeriahkan pesta ulang tahun Jakarta. Di saat-saat lain, kesenian itu bagaikan terlupakan, sepi dari perhatian banyak orang.

Salah satu kesenian tradisional yang mengalami nasib demikian adalah Sambrah. Padahal, kesenian itu muncul dari kawasan yang akrab dikenal hampir semua warga Ibu Kota seperti Tanah Abang di Jakarta Pusat, tempat pasar tekstil terbesar Jakarta berada.

Sambrah, sebenarnya merupakan gabungan seni musik Betawi, Arab, dan India. Di abad ke-18, Tanah Abang yang sudah menjadi kawasan pusat perdagangan banyak dihuni oleh pedagang dari berbagai tempat, kebanyakan dari Betawi, Arab dan India. Mereka menggabungkan seni musik asal daerah masing-masing, yang kemudian menghasilkan apa yang kini dikenal sebagai Sambrah.

“Sudah adat orang Betawi, kalau malam terang bulan, berkumpul, bermain musik dan bernyanyi beramai-ramai. Itu dikenal sebagai acara bertukar pantun. Alat musiknya hanya gendang dan tamborin. Kemudian orang Arab datang membawa gambus, orang Melayu membawa biola dan orang India membawa harmonium. Jadilah Sambrah,” kata pemimpin kelompok seni Sambrah Betawi Rumpun Melayu, M. Ali Sabeni.

Gendang yang dipakai sebagai instrumen utama di musik dangdut adalah berasal dari tipe gendang di Sambrah. Begitu halnya, gitar gambus yang awalnya menjadi instrumen “wajib” di Sambrah malah ‘pulang-kandang’ ke jenis musik aslinya yang beraliran Timur-Tengah dengan lagu- lagu kebanyakan berbahasa Arab.

Dari :Jabir Sofyan Khamal

Wayang Golek Lenong Betawi



Wayang Golek Lenong Betawi diciptakan oleh Tizar Purbaya pada tahun 2000. Pria kelahiran Banten tahun 1950, berdarah Betawi yang kini tinggal di Sunter Jakarta Utara. Cerita wayang Golek Lenong Betawi diangkat dari berbagai legenda/kisah pahlawan Betawi dan cerita rakyat. Dalam pertunjukan menggunakan bahasa Betawi dengan gaya nglenong yang penuh guyon dan banyolan.

Wayang Golek Lenong Betawi dipentaskan pertama kali pada tanggal 10 April 2001 di hadapan Bapak Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta, bertempat di Galangan Kafe VOC. Semenjak itu undangan mendalang wayang Golek Lenong Betawi pun sampai ke berbagai Negara di dunia, antara lain adalah di Washingtton DC pada tahun 2002, dan di Edo City, Jepang di tahun 2004.

Tizar Purbaya, dalang Wayang Golek Lenong Betawi yang dijuluki Master Of Puppet Indonesia oleh seorang penulis Jerman, menjelaskan bahwa Wayang Golek Lenong Betawi adalah kombinasi antara lenong, gambang kromong dan wayang golek sehingga menghasilkan seni pertunjukan baru yang menarik.

Dari segi pertunjukan, Wayang Golek Lenong Betawi mirip pertunjukan Wayang Golek Sunda. Bedanya, Wayang Golek Lenong Betawi menggunakan gambang kromong sebagai musik pengiring.
Tema ceritanya dari kisah-kisah legenda Betawi seperti Si Pitung, Si Jampang atau Si Manis Jembatan Ancol. Wayang Golek Lenong Betawi juga tidak menjadikan dalang sebagai ‘pemain tunggal’, seluruh kru bahkan para pemain musik bisa saja melempar“celetukan” di tengah pertunjukkan.
Yang menarik adalah tekniknya. Ada wayang golek yang bisa mengeluarkan air mata atau darah,ada yang kepalanya tertancap sebilah golok, bahkan ada yang bisa berubah wujud menjadi hantu. “Teknik dasar pembuatannya saya pelajari di Jepang, di Indonesia saya kembangkan dan perkaya, hingga hasilnya seperti ini,” ujar Tizar.

Pertunjukan Wayang Golek Lenong Betawi biasanya memakan waktu dua jam. Jumlah krunya mencapai sepuluh hingga lima belas orang. Bahasa tuturnya menggunakan bahasa Betawi ‘elu-gue’ yang kental. Pokoknya sepanjang pertunjukan, penonton dijamin tidak bakal bosan karena ceritanya seru dan menarik.

Tizar mengakui awal mula pembuatan wayang golek “bule” itu dilakukannya secara tidak sengaja. Pertengahan tahun 1998, dia menerima pesanan wayang golek yang mirip wajah sepasang turis asal Eropa. Kemudian karena Jakarta dilanda kerusuhan, kedua turis itu kembali ke negara asalnya dan tidak mengambil wayang yang sudah dipesan dari Tizar.

Mendalang dan membuat wayang golek sudah dijalani lebih dari separuh perjalanan hidup pria berusia 61 tahun ini. Wayang golek pula yang membawanya berkelana ke berbagai negara. Amerika, Belanda, Jepang, India, hingga ke perbatasan Laos-Thailand sudah dijelajahinya untuk mementaskan wayang golek.

Pria kelahiran Cikande, Banten, pada 1950, Tizar mengenal wayang justru di Jakarta. ”Ibu saya dari Banten, ayah Betawi,” ungkapnya.
Ia berharap pemerintah melalui Dinas Pariwisata tidak berpaling dari putra-putra Betawi yang kreatif dan selalu membawa citra baik budaya Betawi. Tizar yang mempunyai ribuan koleksi wayang golek itu mengatakan, wayang Betawi yang dia ciptakan lebih berkarakter bila dibandingkan dengan golek sejenis.

Sempat bergabung dengan Teater Kecil pimpinan Arifin C Noer, di usia 24 tahun Tizar mengaku menjadi orang pertama yang mementaskan wayang golek sunda dalam Bahasa Indonesia. ”Waktu itu, tahun 1974, kan banyak orang ribut soal pengIndonesiaan wayang. Kita main aja pakai Bahasa Indonesia. Ternyata penonton rensponsif, semua orang mengerti,” katanya.
Di tahun-tahun itu pula ia membuat pementasan teater boneka, mengombinasikan wayang, teater, dan film. Pementasan menggunakan boneka dan wayang. Ada juga orang yang main, ada latar belakang film. Jadi, ”Boneka dimainkan dalang sampai akhirnya dalang jadi boneka.

Dari : Nohara Argay Shinosuke Part II

Buka Palang Pintu: Care Kawinan Betawi

Bagi etnis Betawi ada tiga hal yang dianggap sakral, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Ada beberapa adat-istiadat yang dilewati dalam acara tersebut, seperti acara perkawinan atau pernikahan. Ada belasan prosesi adat yang harus dijalankan. Di antaranya, acara 'buka palang pintu'. Kegiatan ini terjadi ketika iring-iringan 'tuan raja mude' (panggilan untuk pengantian pria) pada sore hari hendak masuk ke rumah 'tuan putri' (pengantin perempuan).

Ketika hendak memasuki rumah, rombongan dicegat wakil tuan rumah. "Eh, ente jangan nyelonong aje!" kata juru bicara dari pihak tuan rumah sambil mencegat rombongan pengantian pria di depan pintu rumah. Menghadapi hadangan ini, rombongan pengantin pria kagak mau kalah. Tetap bekutet agar dapat masuk. Dalam acara 'buka palang pintu', kedua belah pihak disertai tukang pantun dan jago silat. "Eit brenti dulu! Maaf ni rombongan dari mane mau ke mane. Tumben amat, ada perlu apa?" Teguran pihak tuan rumah ini dijawab pihak pria dalam bentuk pantun, "Naek delman ke pasar ikan. Beli bandeng campurin teri. Aye dateng beserta rombongan. Nganter tuan raje mude nemuin tuan putri."

Dijawab tuan rumah dengan, "Anak kude naek kerete. Tukang kue naek sepede. Kalo emang itu tujuannya. Tentu ada syaratnye." Ternyata salah satu syarat yang diminta keahlian pihak tamu dalam bermain silat. Maka, terjadilah 'duel' cukup seru antara jago tuan rumah dan jago tamunya. Tentu saja yang harus 'menang' jago dari pihak tamu. Hanya dalam satu dua jurus pihak tuan rumah menyatakan, "Cukup ... cukup ....! Abang punye jago memang jempolan." Tapi, pihak pengantian pria masih belum diperbolehkan masuk ke kediaman wanita. "Belon bisa, Bang. Tuan putri minta dibacain beberapa ayat Alquran. Kalo sanggup boleh masuk, kalo gak sanggup pulang aje, deh."

Syarat ini pun dilalui dengan mulus tanpa suatu halangan karena sejak kecil anak Betawi oleh orang tuanya disuruh mengaji. Ketika mempersilakan rombongan pengantin pria memasuki kediamannya, tuan rumah sekali lagi berpantun. "Pisang batu pisang lempenang. Gado-gado kacang tane. Orang atu banyak yang pinang. Kalo jodo masa ke mane?", Silahkan masuk. Ahlan wasahlan, ya marhaban. Maka kedua belah pihak yang tadinya sedikit tegang kini saling salaman dan berpelukan.

Dari :Jabir Sofyan Khamal

Gambang Kromong

Nama Gambang Kromong diambila dari nama alat musik yaitu gambang dan kromong. Ia juga merupakan prpaduan yang serasi antara unsur pribumi dan Cina. Unsur Cina tampak pada instrumen tehyan, kongahyan, dan sukong. Sementara unsur pribumi berupa kehadiran instrumen seperti gendang, kempul, gong, gong enam, kecrek dan ningnong. Memang pada mulanya gambang kromong adalah ekspresi orang cina peranakan saja. Sampai awal abad ke-19 lagu-lagu gambang kromong masih dinyanyikan dengan bahasa cina. Baru pada dasawarsa pertama abad ke-20 retepertoar lagu gambang kromong diciptakan dalam bahasa betawi. Belakangan dalam setiap pegelarannya gambang kromong selalu membawakan lagu-lagu dari khazanah cina dan betawi. Seperti lagu-lagu Instrumental (phobin) berjudul Ma Su Thay, Kong Jie Lok, Phe Pan Thaw, Ban Kie Hwa, Phe Boo Than, Bon Liauw, dan "Lagu Sayur" berjudul, antara lain, Cente manis, Kramat karem, Sirih Kuning, Glatik Ngunguk, Surilang, Lenggang Kangkung, Kudebel, Stambul Jampang, dan Jali-Jali Kembang Siantan.

Gambang Kromong sangat terbuka menerima kemungkinanpengembangan. Itulah sebabnya dikenal gambang kromong kombinasai. Gambang Kromong Kombimasi disebut juga Gambang Kromong Modern. dikatakan kombinasi karena alat musik asli ditambah atau dikombinasikan dengan alat musik barat seperti: Gitar, gitar melodi, bass, organ, saksofon, drum, dan sebagainya. Gambang Kromong
Kombinasi dapat memenuhi semua keinginan penonton. Dapat dibawakan jenis lagu dangdut, kroncong, pop bahkan gambus.
Seniman musik pop pun bisa mempopulerkan lagu-lagu gambang kromong, seperti Benyamin S, Ida royani, Lilis Suryani, Herlina Effendi dan lain lain. Sementara Tokoh gambang kromong yang pernah dan masih dikenal sampai saat ini adalahLiem Lian Pho (pemimpin rombongan "selendang Delima"), Suryahanda (pemimpin rombongan "Naga Mustika"), Samen, Acep, Marta (pemimpin rombongan "Putra Cijantung" yang sebelumnya dipimpin oleh Nya'at), Amsar (pemimpin rombongan "Setia Hati" dari Bendungan Jago), Samad Modo (pemimpin rombongan "Garuda Putih"), L. Yu Hap, Tan Kui H
ap, dan Jali Jalut.

Dari : Jabir Sofyan Khamal

Gambang Rancag

Gambang Rancag bisa disebut sebagai pertunjukan musik sekaligus teater, bahkan sastra. Ia terdiri dari dua unsur yaitu Gambang dan Rancag. Gambang berarti musik pengiringnya dan Rancag adalah cerita yang dibawakannya dalam bentuk pantun berkait.  Umumnya membawakan lakon-lakon jagoan seperti Si Pitung, Si Jampang dan si Angkri. Pantun berkait ini dinyanyikan oleh dua orang bergantian . Sama dengan berbalas Pantun.

Pagelaran Gambang Rancag selalu terbagi atas tiga bagian. Bagian pembukaan yang di isi dengan lagu-lagu phobin yang berfungsi mengumpulkan penonton. Bagian kedua diisi dengan menampilkan lagu-lagu hiburan atau "Lagu Sayur". Bagian ini berfungsi sebagai selingan sebelum ngerancag dimulai. Kedua jenis lagu ini sama sengan yang dinyanyikan dalam gambang kromong. Bagian ketiga rancag. Lagu-Lagu yang dibawakan dalam merancag adalah Dendang Surabaya, Gelatik Nguknguk, Persi, Phobin Jago, Phobin Tintin, dan Phobin Tukang Sado.

Setiap pemain rancag bukan hanya harus mampu bernyanyi tetapi juga harus punya kemampuan untuk menyusun pantun dan hafal jalan cerita yang akan dibawakan. Dia harus hafal lakon-lakon yang akan dimainkan.

Contoh : Dua bait Rancag Si Pitung :
Ambil simping asalnya kerang
Pasang pelita terang digantung
Pasang kuping nyatalah biar terang
digambang rancag buka rancag Jago Bang Pitung.

Pasang pelita terang digantung
Pisang kepok yang mude-mude
Buka Rancag Jago Bang Pitung
Sagalenye Pitung ngerampog di wetan bagian Marunde

Dari : Jabir Sofyan Khamal

Tanjidor

Musik tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke-14 sampai ke-16. Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik untuk tuannya. Sejarawan Belanda Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kolonial. Alat musik yang mereka mainkan antara lain: klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bas drum, tambur, simbal, dan lain-lain. Mereka menghibur tuan mereka saat pesta dan jamuan makan. Ketika perbudakan dihapuskan pada 1860, pemain musik musik, mereka membentuk perkumpulan musik. Lahirlah perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.
Lagu-lagu yang dibawakan tanjidor antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, dan Cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu tanjidor juga diperkaya dengan lagu-lagu gambang kromong. Karena itu instrumennya bisa ditambah dengan tehyan, rebana, beduk, gendang, kecrek, kempul, dan gong.
Pada era 1950-an orkes tanjidor masih ngamen. Khususnya pada tahun baru Masehi dan Imlek. Dengan telanjang kaki atau bersandal jepit mereka ngamen dari rumah ke rumah di kawasan elite, seperti Menteng, Salemba, dan Kebayoran Baru, daerah-daerah yang banyak dihuni orang Belanda. Pada tahun baru Cina biasanya tanjidor ngamen lebih lama. Karena tahun baru Cina dirayakan sampai perayaan Cap Go Meh, yaitu pesta hari ke-15 Imlek.

Tanjidor berkembang di daerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Di daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat perkebunan dan villa milik orang Belanda, di mana budak-budak mereka memainkan musik tanjidor untuk sang tuan. Adapun grup tanjidor yang kini menonjol adalah Putra Mayangsari pimpinan Marta Nyaat di Cijantung Jakarta Timur dan Pusaka pimpinan Said di Jagakarsa Jakarta Selatan.

Dari : Jabir Sofyan Khamal

Keroncong Tugu

Keroncong Tugu dahulu sering disebut Cafrinho Tugu. Orang-orang keturunan Portugis (mestizo) telah memainkan musik ini sejak 1661. Pengaruh Portugis dapat diketahui dari jenis irama lagunya. Misalnya moresko, frounga, kafrinyo, dan nina bobo. Keroncong Tugu tidak jauh beda dengan keroncong pada umumnya. Tapi juga bukan sama persis. Keroncong Tugu berirama lebih cepat. Irama yang lebih cepat ini disebabkan oleh suara ukulele yang memainkannya digaruk seluruh senanrnya. Sementara keroncong Solo atau Yogya berirama lebih lambat.
Keroncong Tugu pada mulanya dimainkan oleh 3 atau 4 orang. Alat musiknya hanya 3 buah gitar, yaitu: gitar Frounga yang berukuran besar dengan 4 dawai, gitar Monica berukuran sedang dengan 3-4 dawai, dan gitar Jitera yang berukuran keci dengan 5 dawai. Selanjutnya alat musik Keroncong Tugu ditambah dengan suling, biola, rebana, mandolin, cello, kempul, dan triangle. Dulu keroncong ini sering membawakan lagu berirama melankolis, diperluas dengan irama pantun, irama stambul, irama Melayu, langgam keroncong, dan langgam Jawa. Syair lagu-lagunya kebanyakan masih menggunakan bahasa Portugis, yang cara pengucapannya sudah terpengaruh dialek Betawi Kampung Tugu.
Keroncong Tugu masih sering pentas pada berbagai tempat dan kesempatan. Di atas pentas para pemainnya selalu berpenampilan khas: yang laki-laki mengenakan baju koko putih, celana batik, dan tutup kepala semacam baret. Mereka juga selalu memakai semacam syal yang melingkari leher. Sementara yang perempuan memakai kebaya. Tokoh keroncong Tugu saat ini adalah Samuel Quicko dan Fernando yang memimpin “Moresko Toegoe” di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Mereka berdua dibantu oleh saudara-saudara mereka, Ester dan Bernado. Sebelumnya ada orang tua mereka: Oma Kristin (Christine) dan opa Eddy Wasch yang pernah memperoleh penghargaan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1976.

Dari : Jabir Sofyan Khamal

Gamelan Topeng

Gamelan Topeng adalah seperangkat gamelan untuk mengiringi topeng Betawi, sebagaimana gambang kromong untuk mengiringi pertunjukan lenong. Gamelan topeng merupakan penyederhanaan dari gamelan lengkap. Terdiri dari rebab, sepasang gendang (gendang besar dan kulanter), ancang kenong berpencong tiga, kecrek, kempul yang digantung dan sebuah gong tahang atau gong angkong. Kenong berpencong tiga di sini ditabuh oleh dua panjak. Yang pertama menabuh pencon kenong (“ngenong”), yang satu lagi menabuh kenceng atau pinggiran kenong (“ngenceng”). Lantaran penyederhanaan ini gamelan topeng bisa dibawa berkeliling untuk “ngamen” dari kampung ke kampung. Terutama pada saat perayaan tahun baru, baik Masehi maupun Imlek, sebagaimana dilakukan rombongan almarhum Haji Bokir pada era 1950-an.
Pemukulan kempul memegang peranan penting dalam pertunjukan topeng sebab ia menandakan pertunjukan akan segera dimulai. Setelah itu dilanjutkan dengan gesekan rebab tunggal (“arang-arangan”). Panjangnya tergantung kesempatan, tetapi ia juga berfungsi untuk mengumpulkan panjak yang belum siap di tempat. Setelah arang-arangan dilanjutkan dengan “talu” atau “tetalu” yang ditabuh lebih keras dari sebelumnya dan berfungsi untuk mengumpulkan penonton. Setelah itu barulah pertunjukan pendahuluan atau pralakon bermula, yakni pertunjukan tari-tarian. Pralakon berlangsung melalui “Lipetgandes” yang dilakukan oleh seorang bodor dan ronggeng topeng (penari topeng). Setelah selesai, bermulalah pertunjukan inti. Dalam pergelaran lakon, panjang atau pendek, gamelan berfungsi sebagai tanda pergantian babak, untuk memberikan aksentuasi gerakan dan jalan cerita.
Ada dua repertoar yang biasa dibawakan
 gamelan topeng. Pertama lagu-lagu “dalem” seperti Kang Aji, Gendol Ijo, Glenderani, dan sebagainya. Kedua, lagu-lagu “luar”, yaitu lagu-lagu yang biasa diperdengarkan berdasarkan permintaan penonton. Antara lain, Geseh dan Bongbang.

Dari : Jabir Sofyan Khamal

Rebana

Rebana terbilang kesenian yang cukup populer di Jakarta. Di daerah lain, terutama di Jawa, alat musik bermembran ini disebut “terbang”. Sebutan rebana diduga berasal dari kata Arab “robbana” (Tuhan kami). Sebutan ini muncul karena alat musik ini biasa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu bernafaskan Islam. Lama-kelamaan alat musiknya disebut “rebana”, atau “robana”, sebagaimana terjadi di daerah Ciganjur, Pondok Pinang dan sekitarnya. Hampir semua jenis rebana Betawi terdapat di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Selebihnya di Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Tangerang. Berdasarkan jenis alat, sumber syairnya, wilayah penyebarannya dan latar belakang sosial pendukungnya, rebana Betawi terdiri atas jenis-jenis berikut ini :

Rebana Biang
Di daerah lain rebana jenis ini disebut juga dengan Rebana Gede, Rebana Salun, Gembyung, dan Terbang Selamet. Disebut rebana biang karena salah satu rebananya berbentuk besar. Meski bentuknya sama, rebana biang terdiri dari empat jenis. Yang paling kecil berdiameter 20 cm biasa disebut ketog; yang bergaris tengah 30 cm disebut gendung; yang sedang bergaris tengah 60 cm dinamai kotek; yang paling besar bergaris tengah 60—80 cm dinamai biang. Karena bentuknya yang besar, rebana biang dimainkan sambil duduk dengan cara menyanggahnya dengan telapak kaki dan lutut.
Bila cara membawakan rebana jenis lain tampak khidmat dan syair-syairnya yang berasal dari bahasa Arab diucapkan dengn tajwid dan makhraj yang bagus, maka kata-kata Arab dalam orkes rebana biang diucapkan dengan lidah atau dialek setempat. Lagu rebana biang ada dua macam. Pertama, yang berirama cepat, disebut lagu Arab atau lagu nyalun, seperti Rabbuna Salun, Allahah, Allah Aisa, Allahu Sailillah, dan Hadro Zikir. Kedua, yang berirama lambat, disebut lagu rebana atau lagu Melayu, antara lain Alfasah, Alaik Soleh, Dul Sayiduna, Dul Laila, Yulaela, Sollu Ala Madinil Iman, Anak Ayam Turun Selosin, Sangrai Kacang.
Kebanyakan kelompok rebana biang yang lebih dekat dengan kota Jakarta, seperti rebana biang Ciganjur, lebih banyak memiliki perbendaharaan laku-laku “dikir” berbahasa Arab atau lagu-lagu berlirik bahasa Betawi, atau bahasa Sunda, yang bagi senimannya sendiri kurang dipahami artinya. Sementara kelompok-kelompok rebana biang di daerah pinggiran, seperti Pondok Rajeg, Cakung, Ciseeng dan Parung dalam pergelaran ada juga yang menambahkan alat-alat musik lain, seperti terompet, rebab, tehyan, bahkan biola. Penambahan ini untuk menggantikan lagu-lagu “dikir”. Di samping untuk mengiringi nyanyian atau “dikir”, rebana biang juga biasa digunakan untuk mengiringi tarian Blenggo atau “Blenggo Rebana”. Sementara teater yang biasa diiringi dengan rebana biang adalah Blantek.
Dahulu grup rebana biang banyak tersebar seperti di Kalibata Tebet, Condet, Kampung Rambutan, Kalisari, Ciganjur, Bintaro, Cakung, Lubang Buaya, Sugih Tanu, Ciseeng, Pondok Cina, Pondok Terong, Sawangan, Pondok Rajeg, Gardu Sawah, Bojong Gede, dan sebagainya. Yang kini masih bertahan grup rebana biang Pusaka pimpinan Abdulrahman di Ciganjur. Namun personel grup ini sebagian besar sudah tua. Sebelumnya ada kelomok rebana biang Kong Sa’anan yang sangat terkenal di era 1950-an karena dipercaya memiliki “ronggeng gaib” yang mampu menyedot dan menghipnotis penonton sehingga sukarela bertahan sampai pagi.

Rebana Ketimpring
Sebutan Rebana Ketimpring mungkin karena adanya tiga pasang “kerincingan”, yakni semacam kercek yang dipasang pada badannya, yang terbuat dari kayu yang menurut istilah setempat disebut “kelongkongan”. Tapi tidak semua rebana berkerincingan disebut rebana ketimpring, ada pula yang bernama rebana hadroh dan rebana burdah.
Rebana ketimpring jenis rebana yang paling kecil. Garis tengahnya hanya berukuran 20 sampai 25 cm. Dalam satu grup ada tiga buah rebana. Ketiga rebana itu mempunyai sebutan rebana tiga, rebana empat, dan rebana lima. Rebana lima berfungsi sebagai komando. Sebagai komando, rebana lima diapit oleh rebana tiga dan rebana empat. Rebana Ketimpring mempunyai dua fungsi: sebagai Rebana Ngarak dan Rebana Maulid.

Rebana Ngarak
Sesuai dengan namanya, Rebana Ngarak berfungsi mengarak dalam suatu arak-arakan. Rebana ngarak biasanya mengarak mempelai pengantin laki-laki menuju ke rumah mempelai pengantin perempuan. Syair lagu rebana ngarak biasanya shalawat. Syair shalawat itu diambil dari kitab maulid Syarafal Anam, Addibai, atau Diiwan Hadroh. Karena berfungsi mengarak itulah, rebana ngarak tidak statis di satu tempat saja.
Gaya pukulan rebana ngarak biasanya disesuaikan dengan kesempatan. Misalnya selama perjalanan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan biasanya menggunakan pukulan “salamba”. Setelah berada di rumah pengantin perempuan biasanya digunakan gaya “sadati”. Mungkin berasal dari kata “syahadatain”, dua kalimat syahadat yang akan diucapkan oleh pengantin laki-laki di hadapan penghulu.
Rebana ngarak saat ini berkembang dengan baik. Banyak remaja dan pemuda mempelajarinya. Dalam grup rebana ngarak dipelajari pula berbalas pantun dan silat, seperti dalam upacara ngarak pengantin. Grup rebana ngarak terdapat di berbagai kampung. Misalnya di kampung Paseban, Kwitang, Karang Anyar, Kali Pasir, Kemayoran, Kayu Manis, Lobang Buaya, Condet, Ciganjur, Grogol, Kebayoran Lama, Pejaten, Pasar Minggu, Kalibata, dan lain-lain.

Rebana Maulid
Sesuai namanya rebana ini berfungsi sebagai pengiring pembacaan riwayat nabi Muhammad. Kitab maulid yang biasa dibaca Syarafal Anam karya Syaikh Albarzanji dan kitab Addibai karya Abdurrahman Addibai. Tidak seluruh bacaan diiringi rebana. Hanya bagian tertentu seperti Assalamualaika, Bisyahri, Tanaqqaltu, Wulidalhabibu, Shalla ‘Alaika, Badat Lana, dan Asyrakal. Bagian Asyrakal lebih semangat karena semua hadirin berdiri. Pembacaan maulid nabi dalam masyarakat Betawi sudah menjadi tradisi. Pembacaan maulid tidak terbatas pada bulan mulud (Rabiul Awwal) saja. Setiap acara selalu ada pembacaan maulid. Apakah khiatanan, nujuhbulanin, akekah, pernikahan, dan sebagainya.
Pukulan rebana maulid berbeda dengan pukulan rebana ngarak. Nama-nama pukulan rebana maulid disebut pukulan jati, pincang sat, pincang olir, dan pincang harkat. Dahulu ada seniman rebana maulid yang gaya pukulannya khas. Seniman ini bernama Sa’dan, tinggal di Kebon Manggis, Matraman. Sa’dan memperoleh inspirasi pukulan rebana dari gemuruh air hujan. Gayanya disebut gaya Sa’dan.

Rebana Hadroh
Pada umumnya ukuran Rebana Hadroh agak lebih besar dari rebana ketimpring. Garis tengahnya rata-rata 30 cm. Rebana hadroh terdiri dari tiga jenis. Pertama disebut Bawa, irama pukulannya cepat, dan berfungsi sebagai komando. Kedua disebut Ganjil atau Seling dan berfungsi saling mengisi dengan bawa. Ketiga disebut Gedug yang berfungsi sebagi bas. Karena itu ada pula yang menyebutnya “rebana gedug”.
Cara memainkan rebana hadroh bukan dipukul biasa tapi dipukul seperti memainkan gendang sehingga terdengar agak melodius. Jenis pukulan rebana hadroh ada empat, yaitu tepak, kentang, gedug, dan pentil. Keempat jenis pukulan itu dilengkapi dengan naman-nama irama pukulan. Nama irama pukulan, antara lain irama pukulan jalan, sander, sabu, pegatan, sirih panjang, sirih pendek, dan bima. Sementara lagu-lagu rebana hadroh diambil dari syair Diiwan Hadroh dan syair Addibaai. Yang khas dari pertunjukan rebana hadroh adalah Adu Zikir. Dalam adu zikir tampil dua grup yang silih berganti membawakan syair Diiwan Hadroh. Grup yang kalah umumnya grup yang kurang hafal membawakan syair tersebut.
Rebana hadroh pernah ada di kampung Grogol Utara, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Kalibata, Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong, dan Paseban. Salah seorang tokoh rebana hadroh yang terkenal adalah Mudehir, seorang tuna netra. Mudehir memiliki keterampilan teknis yang sempurna. Variasi pukulannya sangat kaya. Bahkan dengan pukulan kakinya pun suara rebana masih sempurna. Suaranya indah. Daya hafalnya atas syair Diiwan Hadroh sangat baik. Konon kemampuannya memainkan rebana hadroh terinspirasi dari suara pekerja pabrik batik yang mengecap kain dengan bertalu-talu. Mudehir wafat pada 1960. Sepeninggal Mudehir rebana hadroh semakin surut. Kini rebana hadroh tinggal kenangan.

Rebana Dor
Perbedaan rebana ketimpring dengan Rebana Dor adalah pada rebana dor terdapat lubang-lubang kecil pada “kelongkongnya” untuk tempat jari. Mungkin untuk memudahkan atau agar lebih enak memegangnya. Cara memegang rebana dor terkadang bertumpu pada lutut kiri kanan. Tangan kiri dan kanan bebas memukul rebana. Rebana dor adalah rebana yang fleksibel. Rebana dor dapat dimainkan bersama rebana ketimpring, rebana hadroh, bahkan dengan orkes gambang.
Ciri khas rebana dor terletak pada irama pukulan yang tetap sejak awal lagu sampai akhir. Ciri lain adalah lagu Yaliil, yaitu bagian solo vokal sebagai pembukaan lagu. Lagu Yaliil mengikuti nada atau notasi lagu membaca Qur’an, antara lain Shika, Hijaz, Nahawan, Rosta, dan lain-lain. Syair lagu rebana dor diambil dari berbagai sumber, antara lain Syarafal Anam, Mawalidil Muhammadiyah, Diiwan Hadroh, Addiibai. Sering pula dibawakan lagu-lagu dari penyanyi Mesir terkenal seperti Ummi Kaltzoum. Karena itu pula rebana dor biasa disebut “rebana lagu”.
Rebana dor lebih banyak persamaannya dengan rebana kasidah. Perkembangan rebana kasidah sangat pesat sehingga menggeser rebana dor. Lagi pula rebana kasidah lebih diminati remaja putri. Rebana dor hanya dimainkan oleh orang-orang tua. Rebana kasidah lebih enak ditonton karena pemainnya remaja putri. Rebana dor didukung pemain leki-laki yang sudah berusia lanjut. H. Naiman dari kampung Grogol Utara, Arifin dari kampung Kramat Sentiong, dan H. Abdurrahman dari kampung Klender adalah tokoh-tokoh rebana dor. Sayangnya ketiga orang ini tidak mempunyai penerus. Akibatnya rebana dor tidak berkembang.

Rebana Kasidah
Rebana Kasidah termasuk yang paling populer. Setiap kampung terdapat grup rebana kasidah. Rebana kasidah dianggap sebagai perkembanagan lebih lanjut dari rebana dor. Sejak awal rebana kasidah sudah disenangi, khususnya oleh remaja putri. Ini yang membuat pesatnya perkembangan rebana kasidah. Tidak ada unsur ritual dalam penampilan rebana kasidah. Maka rebana kasidah bebas bermain di mana saja dan dalam acapa apa saja. Lirik-lirik yang dinyanyikan tidak terbatas pada lirik-lirik berbahasa Arab, melainkan yang berbahasa Indonesia.
Ada yang beranggapan kepopuleran rebana kasidah karena ia lazim dimainkan oleh perempuan. Di masa lalu hampir semua madrasah memiliki kelompok rebana kasidah. Bahkan di era 1970 sampai 1980-an festival kasidah marak dilaksanakan. Grup pemenang festival ditampilkan pada acara-acara penting. Ada pula grup yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam pita kaset dan laris dijual. Penyanyi rebana kasidah yang terkenal adalah Hj. Rofiqoh Darto Wahab, Hj. Mimi Jamilah, Hj. Nur Asiah Jamil, Romlah Hasan, dan lain-lain. Menurut catatan Lembaga Seni Qasidah DKI Jakarta pada 10 tahun lalu jumlah ogranisasi rebana kasidah sekitar 600 kelompok.

Rebana Maukhid
Ukuran jenis rebana ini lebih besar dari rebana hadroh, sekitar 40 cm. Munculnya jenis kesenian rebana maukhid tidak lepas dari nama Habib Hussein Alhadad. Habib inilah yang mengembangkan rebana maukhid. Habib Hussen mempelajari kesenian rebana dari Hadramaut. Rebana maukhid yang asli hanya dua buah, tapi ia mengembangkannya menjadi empat sampai 16 buah. Profesi sehari-hari Habib Hussein adalah muballig. Untuk lebih memeriahkan tablig setiap malam Jumat, Habib Hussein menyanyikan shalawat diiringi rebana. Syair shalawat yang dinyanyikan diambil dari karya Abdullah Alhadad.
Rebana maukhid dapat dimainkan tanpa terikat jumlah pemain, tergantung jumlah pemain dan tempat pertunjukannya, sehingga bisa dimainkan oleh dua, tiga, empat, bahkan 16 orang. Keberadaan rebana maukhid bukan semata-mata untuk pertunjukan, tapi sebagai pengis acara tablig. Tidak ada rancangan khusus berkenaan dengan pementasan. Apalagi rencana pengembangan dan perluasan wilayah. Rebana maukhid hanya ada di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kalaupun di daerah lain ada Rebana Maukhid, mungkin dilakukan oleh murid Habib Hussein Alhadad.

Rebana Burdah
Garis tengah Rebana Burdah lebih besar dari rebana maukhid, sekitar 50 cm. Penamaan rebana burdah mungkin karena nama grupnya, yaitu “Burdah Fiqah Ba’mar” yang dipimpin oleh Sayid Abdullah Ba’mar. Mungkin juga dinamakan demikian karena biasa membawakan “qaida” (salah satu bentuk puisi Arab) Alburda yang terdapat di kitab Majemuk atau Mawalid. Rebana jenis ini hanya ada di Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan dan dikembangkan oleh Abdullah Ba’mar. Para pemainnya semula berasal dari keluarga Ba’mar, Amzar, dan Kathum yang kesemuanya merupakan imigran Arab asal Mesir.
Kehadiran Firqah Burdah Ba’mar awalnya untuk mengisi waktu luang menjelang atau sesudah pengajian. Dengan disajikannya rebana burdah, pengajian terasa lebih meriah dan tidak membosankan. Karena main di forum pengajian, lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri yang berisi puji-pujiab kepada Nabi Muhammad. Pada umumnya lagu-lagu burdah berirama 4/4 dimainkan sambil duduk bersila, sedangkan lagu-lagu yang berirama lebih cepat biasa disebut “Fansub” dimainkan sambil berdiri.

Dari : Jabir Sofyan Khamal

Orkes Gambus


Orkes Gambus dahulu dikenal dengan sebutan irama Padang Pasir. Pada tahun 1940-an orkes gambus menjadi tontonan yang disenangi. Bagi orang Betawi, tanpa nanggap gambus pada pesta perkawinan atau khitanan dan sebagainya terasa kurang sempurna. Menurut Munif Bahasuan, orkes gambus sudah ada di Betawi sejak awal abad ke-19. Saat itu banyak imigram dari Hadramaut (Yaman Selatan) dan Gujarat datang ke Betawi. Jika walisongo menggunakan gamelan sebagai sarana dakwah, imigram Hadramaut menggunakan gambus.
Peralatan musik gambus bervariasi, tapi yang baku umumnya terdiri dari gambus, biola, dumbuk, suling, organ atau akordion, dan marawis. Awalnya orkes gambus membawakan lagu dengan syair bahasa Arab, seperti Lisaani Bihamdillah, Yamalaakal Hub, Solla Rabbuna, Asyraqal Badrui dan Syarah Dala. Kemudian gambus berkembang menjadin sarana hiburan. Ia juga biasa digunakan untuk mengiringi tarian Japin yang biasa ditarikan oleh laki-laki berpasangan.
Orkes gambus tidak bisa dipisahkan dari Syaikh Albar dari Surabaya dan SM Alaydrus. Kedua orang ini merupakan musisi gambus terkenal pada era 1940-an. SM Alaydrus berhasil mengembangkan orkes harmonium yang pada erac1950 menjadi orkes Melayu. Syech Albar mempertahankan tradisi gambus. Sampai 1940-an lagu gambus masih berorientasi ke Yaman Selatan. Setelah bioskop Alhamra di Sawah Besar banyak memutar film Mesir, lagu gambus berorientasi ke Mesir. Sehingga nama Umi Kaltzoum, Abdul Wahab, dan Farid Alatras terkenal dan lagu-lagunya ditiru.
Sampai era 1950-an orkes gambus makin terkenal. Orkes gambus mengisi siaran di RRI tiap malam Jumat. Dua grup yang selalu tampil di RRI adalah Orkes Gambus Al-Wardah pimpinan Muchtar Lutfie dan Orkes Gambus Al-Wathan pimpinan Hasan Alaydrus. Pada era 1960-an orkes gambus mulai menurun pamornya. Politik Demokrasi Terpimpin melarang kesenian yang berbau asing. Di era 1990-an orkes gambus mulai bangkit kembali.di Indonesia. Malah sempat diadakan lokakarya musik gambus pada 1997 meski hasilnya belum menggembirakan.
Tokoh musik gambus di Jakarta yang cukup terkenal adalah Husnu Maad K.H. Zainal Abidin Alhadad dan Zein Alhadad. Salah satu grup yang terkenal saat ini adalah Arrominiah pimpinan H. Hendy Supandi.

Dari : Jabir Sofyan Khamal
Photo : Nohara Argay Shinosuke Part II

Sampyong


Sebagai orkes tanpa laras, sampyong merupakan musik rakyat Betawi pinggiran yang paling sederhana dibandingkan dengan musik betawi lainnya. Nama musik ini berasal dari satu alat musik yang bernama Sampyong (semacam kordofan bambu berdawai dua utas). Di Pasundan alat musik ini disebut celembung, di Jawa tengah dinamakan gumbreng dan di Jawa Timur disebut gunlang. Alat musik lainnya adalah sejenis gambang empat bilah terbuat dari bambu kayu dan ancaknya (talam dibuat dari anyaman bambu, lidi atau lidi nyiur) terbuat dari gedebong pisang. Ada pula yang menambahnya dengan dua buah tanduk kerbau yang dibunyikan dengan cara digesek-gesekan.


Orkes ini biasa digunakan untuk mengiringi pertandingan ujangan, yaitu dua orang bertanding saling memukul dengan rotan sebesar ibu jari kaki yang didahului dengan tarian uncul.

Dari : Jabir Sofyan Khamal
Photo : Nohara Argay Shinosuke Part II

Marawis

Marawis hampir sama dengan rebana yang menggunakan perkusi sebagai alat musik utamanya. Perbedaan dengan rebana terdapat pada jenis dan ukuran alat perkusinya. Jika pada rebana hanya satu sisi kendang yang tertutup maka pada marawis kedua sisinya tertutup kendang.

Nama Marawis diambil dari nama alat musik yang dipergunakan dalam kesenian ini. Alat Musik tersebut ada tiga jenis : pertama, perkusi rebana ukuran kecil bergaris tengah 10 Cm, tinggi 17 Cm dan kedua kendangnya tertutup. Inilah yang disebut marawis (biasanya paling sedikit digunakan 4 buah). Kedua, perkusi besar (tinggi 50 Cm, garis tengah 10 Cm) yang disebut hadir dengan kedua kendanya tertutup. Ketiga adalah papan tepok.

Marawis biasanya membawakan lagu atau syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad SAW dan berbalas pantun. . Seringkali juga dipergunakan dalam penyambutan tetamu dan mengiringi pengantin dalam atau acara besanan.

dari : Jabir Sofyan Khamal
Photo : Nohara Argay Shinosuke Part II

BUDAYA PESTA DAN KONDANGAN PADA MASYARAKAT BETAWI DALAM ...PRESPEKTIF AGAMA

udah jadi tradisi sebuah perayaan, baik pernikahan maupun khitanan di kampung - kampung betawi pinggiran Jakarta, yang dirayakan dengan amat meriah, orkes dangdut semalam suntuk yang memekakan telinga, atau layar tancap atau juga organ tunggal. dan yang lebih mengejutkan lagi, keluarga-keluarga yang ekonomin...ya pas-pasan pun saat menikahkan anak gadisnya seolah tidak mau kalah meriah, entah darimana uangnya. Mereka lebih memilih mengadakan pesta dengan biaya besar dan meriah dibanding harus mengeluarkan biaya untuk sekolah anak-anaknya. Entah apa motivasi dari orang tersebut, tetapi biasanya mereka menyelenggarakan pesta perkawinan seperti itu, dengan harapan mendapatkan untung dari sumbangan tamu berupa amplop kondangan atau sumbangan tetangga dalam bentuk lainnya .
Pada masyarakat betawi, bahkan, kebiasaan memberikan amplop kondangan atau kado hampir menjadi utang-piutang. Bahkan sudah menjurus seperti investasi, yang mempunyai hajat sudah tamak lebih dulu, bahwa dia akan mendapat banyak sumbagan dari tamu undangan, karena dia merasa sudah sering kondangan ke orang lain. Sehingga muncul istilah mengadakan pesta untuk “nyabut Kondangan”.Para tamu undangan pun demikian rasanya tidak bisa hadir tanpa memberikan sumbangan, entah berupa kado atau uang dalam amplop. Tentu perilaku seperti itu sudah melenceng dari maksud disyari'atkannya perayaan baik perayaan pernikahan ataupun khitanan yang biasanya disebut dengan istilah walimah.
Orang mengadakan walimah menjadi tidak ikhlas, walimah tidak lagi murni menjadi refleksi rasa syukur, namun tersimpan harapan lain, ingin mendapat sumbangan dari tamu undangan, para tetangga dan handai tolan. Seandainya mau tak hadir, jelas tak enak, karena merasa berhutang, kawan yg mengundangnya pernah datang ke walimahnya dan membawa sumbangan. Tak heran kondisi ini mendorong orang yang kondisi keuangannya pas-pasan harus putar otak mencari tambahan uang untuk kondangan, terkadang merekapun akhirnya berbuat nekat seperti tergambar dalam berita yang tertera di awal tulisan ini.Dampak kurang enak dari budaya seperti ini juga sangat terasa pasca lebaran, dimana orang hajatan atau pesta seperti berlomba-lomba, muncul dimana-mana layaknya jamur di musim hujan. Seakan-akan walimah jadi wajib hukumnya, baik perayaan nikah, khitanan, bahkan banyak juga yang mengadakan pesta tanpa ada kepentingan apa pun, Cuma “nyabut kondangan” saja tujuannya. Karenanya tidak sedikit orang yang menarik nafas panjang ketika menerima surat undangan pesta, karena bisa saja undangan tersebut adalah undangan kedua atau ketiga dalam minggu itu. Dan dampaknya akan ada biaya besar yang harus di keluarkan untuk kondangan karena orang yang di undang merasa kehutangan, atau untuk sekedar berinvestasi agar nanti ketika ia punya hajat orang yang sekarang mengundang akan mengembalikan uang itu dalam jumlah yang sama.
Di beberapa komunitas masyarakat Betawi bahkan ada istilah kondangan kolektif, atau orang betawi menyebutnya “kongan”. Prakteknya mirip dengan arisan, dipimpin oleh sorang ketua grup, tiap anggota diminta urunan dengan jumlah uang tertentu yang tentunya tidak kecil jumlahnya, lalu uang itu diserahkan untuk si empunya hajat, begitu terus bergantian.Agak sulit memang, merubah tatanan adat yang telah ada dan mapan. Apalagi menghilangkan kesemuanya itu. Ada kesan hambar, dan tidak ‘wah’ barangkali kalau semua prosesi itu ditiadakan. Bayangkan saja, kalau sebuah pesta tanpa diselenggarakan dengan meriah tanpa ada bunyi-bunyian keras dari soundsystem berkekuatan lebih dari 1000 watt, pasti para tamu agak rikuh dan berpikir, “bener gak ini pestanya?” Atau, “bener hari ini kan?” sambil terkesan ragu-ragu, jangan-jangan sudah selesai kemarin, atau malah belum dimulai?
Tetapi merubah budaya ini belumlah terlambat, asal ada kemauan. Sekarang repotnya kalangan ulama yang semestinya menjadi agen perubahan di masyarakat, justru seperti menikmati kondisi ini. Karena merekapun sedikit-banyaknya mendapat berkah juga dari amplop ceramah pada acara maulidan sehari sebelum walimah. Makanya tak jarang pula, beberapa ulama dalam ceramahnya malah memotivasi hadirin agar amplop kondangan besok, diisi dengan layak, biasanya dikaitkan dengan harga bahan pokok yang semakin mahal, sehingga jika kondangan isi nya kecil akan memberatkan tuan rumah.Tapi bagaimana-pun, harus diingat, hal itu adalah kebiasaan-kebiasaan yg tidak baik.
Tinggal sekarang kembali ke prinsip disyariatkannya walimah, yaitu untuk mengungkapkan rasa syukur dan untuk menyiarkan keterikatan dua mempelai dalam satu akad suci, pernikahan. Mungkin dari sinilah ulama mesti bertolak, untuk mengembalikan tujuan walimah kepada tujuan semula, yaitu walimah sebagaimana telah diajarkan nabi sesuai dengan sabdanya: "....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1854)Maka, karena ingin mengungkapkan rasa syukur dan kegembiraannya, si empunya hajat lantas mengundang tetangga-tetangga, kawan-kawan, dan kolega-kolega, juga sanak famili. Yang terpenting dari itu semua adalah diperolehnya doa-doa selamat dari orang-orang yang diundang. Kita pun kalau hadir seharusnya dalam kerangka dan niat mendoakan, juga untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, atau mendoakan kepada anak yang di khitan agar menjadi anak yang sholeh.Jangan sampai salah memasang niat, karena segala sesuatu itu tergantung niatnya. Penyelenggaraan walimah pernikahan di dalam Islam memiliki tujuan suci, yaitu untuk mengabarkan kepada khalayak umum tentang pelaksanaan sebuah ijab qabul. Terjadinya ijab qabul tak boleh disembunyikan dari masyarakat, karena akan menyebabkan terjadinya fitnah dan kemudharatan, begitu pula halnya dengan walimah khitan.
Hindari penyelenggaraan walimah dengan niat memamerkan harta yang dimiliki, atau saling bersaing dengan keluarga lain. Hindari pula pelaksanaan walimah karena niat mencari sensasi, mencari popularitas. Bahkan ada yang berniat menyakiti hati orang lain dengan cara mengadakan walimah besar-besaran, ditambah dengan memanggil hiburan yang mengundang maksiat seperti orkes dangdut, organ tunggal atau layar tancep.Apalagi bila tujuannya sekedar gengsi dan ingin dianggap sebagai orang yang mampu, padahal semua itu dengan berhutang. Atau ?maaf- dengan mengharapkan adanya uang diamplop yang diselipkan para tamu. Bahkan dengan tidak malu-malu dituliskan di kartu undangan sebuah pesan yang intinya tamu jangan bawa kado, tapi bawa uangnya saja. Biar tidak tekor alias rugi.
Ada dua pendapat para ulama, antara yang mewajibkan menghadiri undangan walimah dan yg tidak mewajibkan bahkan mengharamkan. Jika memang dalam pesta tersebut tidak ada kemungkaran-kemungkaran maka kita wajib menghadirinya, sebagaimana sabda Rasullulah SAW : ."Jika kalian diundang walimah, sambutlah undangan itu (baik undangan perkawinan atau yang lainnya). Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari 9/198, Muslim 4/152, dan Ahmad no. 6337 dan Al-Baihaqi 7/262 dari Ibnu Umar).Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan dengan niat berinvestasi, serta didalamnya terdapat maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, seperti orkes dangdut, joget laki-laki perempuan, mabuk-mabukan, nyawer, dan semacamnya, kecuali dengan maksud akan merubah atau menggagalkannya. Jika telah terlanjur hadir, tetapi tidak mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka wajib meninggalkan tempat itu.Demikianlah tata cara walimah yang disyariatkan oleh Islam. Semoga Allah Taala memberikan kelapangan bagi masyarakat Betawi untuk mengikuti petunjuk yang benar dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaih wa sallam. Wallahu ‘alam bisshawab.

dari : Jabir Sofyan Khamal