Perabotan Lenong

Aku Bangga Jadi Anak Betawi

Selasa, 01 November 2011

Ayo Lestarikan Budaya Bahasa Betawi

Kagum, salut, dan haru, mungkin itulah perasaan saya ketika membaca Buku ‘Kamus Sehari-hari Bahasa Betawi’” karangan Bapak Sukanta atau (lebih akrab dengan panggilan Bang Ading ) yang bertempat di Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane di Jalan Saluran Tarum Barat 58 Cawang,

Bagaimana tidak kagum pada beliau, yang ternyata beliau sendiri bukan seorang Betawi Asli, tepatnya beliau seorang Sunda. Ketika saya tanyakan kepada beliau, “Koq tertarik membuat kamus betawi, padahal abang kan bukan orang Betawi ?”, dan beliaupun menjawab “Memang saya bukan orang Betawi, Orang tua saya dari Bandung tepatnya desa Sukahaji, namun saya lahir di Jakarta ini, sehingga semenjak kecil merasakan bagaimana suasana kehidupan masyarakat Betawi, saya merasa ingin melestarikan kekayaan budaya Indonesia ini, karena di jaman sekarang ini, kebudayaan kita dari bahasa, permainan dan makanan-makan khas Betawi sudah mulai menghilang satu persatu, dan atas dasar itu saya mengabadikannya dalam sebuah buku yang barangkali berguna untuk masyarakat luas.”

Awal mula ketertarikanya, ketika beliau sedang minum kopi di warung seorang nenek, Betawi tulen, menyebutkan kata tesi dan pisin. Karena baru mendengar kata-kata tersebut, lalu beliaupun menanyakan langsung, apa artinya. Ternyata tesi artinya sendok, dan pisin artinya piring kecil

Semenjak itulah beliau tertarik untuk mengumpulkan, mencatatnya dan bertanya kepada penduduk Betawi asli hingga sekarang. Jelasnya

Tahun 2007 mulailah beliau menyusun kata demi kata dengan tulisan tangan, kurang lebih satu tahun, hingga tahun 2008 beliau mendapat hadiah Laptop dari Bapak Ir. Pitoyo Subandrio, Dipl., H.E., Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane, sekaligus sebagai atasannya dimana beliau bekerja. Memang bang Sukanta ini terkenal rajin, ulet dan giat dalam mengerjakan sesuatu pekerjaannya, kalau orang betawi bilang :

“Ane kalo ude nulis, dari wayah dur, ampe wayah titet, kagak perne ngenal waktu” (Jika saya sudah menulis dari pagi hingga petang, tidak pernah mengenal waktu)

Buku ini terdiri dari 266 halaman, Penerbit : GRASINDO, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Didalam buku inipun anda akan mngetahui 66 jenis makanan Betawi,seperti ; Ancemon (Singkong diiris tipis, dikukus, lalu ditaburi kelapa parut, Gemblong (Beras ketan ditambah gula merah dan santan, lalu dimasak hingga kental, dll …., dan 13 jenis Permainan tradisional anak-anak seperti ; Permainan Dampu, Serok Kuali,Congklak dll, dll.

Untuk anda yang sering berinteraksi dengan masyarakat Betawi, sepertinya wajib Kamus ini untuk dimiliki dan menambah koleksi perpustakaan pribadi anda

Ada beberapa point yang bisa dijadikan pelajaran khususnya untuk saya pribadi

Melestarikan budaya bangsa adalah tugas kita semua, siapapun, tak terkecuali.

Memberitahukan kepada Dunia, kebudayaan-kebudayaan kita yang sesungguhnya, jangan sudah di akui Negara lain , baru kita teriak-teriak.

Niatkan yang kuat, apa yang akan kita cita-citakan, yang kita tuju, suatu saat pasti akan tercapai.

Perlunya penunjang-penunjang pendukung kearah yang akan kita tuju, seperti waktu, sarana, media, penyemangat, dan pemanfaatan kesempatan.

Bang Sukanta atau lebih akrab dengan panggilan Ading

Bang Sukanta atau lebih akrab dengan panggilan Ading

Berikut saya berikan beberapa contoh isi dari kamus tersebut diatas yang sering kita dengar :

Bujug Buneng : kata seru, takjub, busyet

Juntrungan : Sebab musabab

Dableg : Sulit untuk diberi pengarahan

Jabanin : Melayani tantangan

Gumoh : Muntah, yang baru ditelan keluar lagi, biasanya terjadi pada bayi.

Andeikate ente kepengenan bise, belilah sendiri

………..

Nyok kite ngelestariin same-same budaye kite !!!

Nyoooookk…………………

Mengupayakan KOMUNITAS BETAWI Agar Tetap Exsis


Menyadari bahwa kota Jakarta terus berkembang menjadi metropolitan, bahkan megapolitan, muncul pemikiran perlunya dibentuk daerah kultural Betawi agar nilai-nilai dan perilaku budaya penduduk asli Jakarta itu dapat dihayati dalam bermasyarakat.

Pelestarian komunitas Betawi itu disebut harus menjadi agenda penting dalam pembangunan di ibu kota Jakarta, guna membantu orang Betawi memelihara eksistensi budaya mereka.

"Ada baiknya perencana pembangunan daerah memikirkan pelestarian komunitas Betawi, karena tanpa komunitas tak mungkin kebudayaan dapat dilestarikan," kata budayawan Betawi Ridwan Saidi, dalam sebuah bukunya.

Jika memang demikian, maka upaya untuk melestarikan budaya Betawi akan makin membutuhkan komitmen dan kerja keras para pemangku kepentingan. Strategi dan perencanaan pun harus disusun dengan baik.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bukannya tidak pernah merencanakan untuk menciptakan komunitas itu. DKI Jakarta pernah menetapkan daerah Condet di Jakarta Timur menjadi cagar budaya Betawi. Tapi, Condet berkembang layaknya daerah pinggirian kota besar lainnya.

Kini DKI Jakarta menetapkan Serengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, sebagai pengganti Condet. di sana dibangun sebagai perkampungan budaya Betawi.

Masih ada harapan agar daerah seluas 289 hektare itu menjadi teritori fisik keberadaan budaya Betawi di tengah kekhawatiran kegagalan dalam memberikan ruang bagi pengembangan budaya penghuni asli Jakarta itu.

Pemikiran mengenai perlunya ada wilayah budaya Betawi dalam melestarikan budaya Betawi ini muncul karena pada kenyataannya, pembangunan di DKI Jakarta dinilai telah menggusur masyarakat asli Betawi dari wilayah mereka.

Dengan alasan "demi pembangunan", orang Betawi kini banyak tersebar di pinggiran Jakarta, bahkan hingga ke Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi, wilayah-wilayah yang mengepung Jakarta.

Wilayah Karet, Kuningan, Senayan, dan Kebayoran Baru, adalah beberapa wilayah di Jakarta yang merupakan teritori kebudayaan dan masyarakat Betawi yang kini telah hilang.

Banyak yang lenyap menyusul hilangnya teritori itu. Salah satunya sub-dialek Jakarta yang hidup di daerah-daerah itu, yang ternyata belum sempat diteliti dan dicatat oleh ahli bahasa.

Dengan terpinggirkannya orang Betawi dari Jakarta, yang notabene adalah wilayah mereka sendiri, maka pendukung kebudayaan Betawi di Ibukota itu kian hari kian menipis. Tidak hanya dalam mendukung nilai-nilai dan perilaku Betawi, tapi juga dalam mendukung seni budaya Betawi.

Meski menurut Ridwan Saidi, seni budaya Betawi dapat dimainkan oleh siapa pun dan di mana pun, namun tuntutan kalangan masyarakat agar Pemprov DKI Jakarta menyediakan semacam pusat kebudayaan Betawi tampaknya perlu dipertimbangkan.

Sejumlah pelaku budaya Betawi yang giat dalam seni budaya lenong dan topeng Betawi, beberapa waktu lalu sempat menyampaikan "unek-unek"-nya tentang perlunya Jakarta membangun Gedung Kesenian Betawi.

Alasannya agar mereka mempunyai tempat untuk menunjukkan seni budaya yang merupakan embrio kesenian Jakarta, sementara pemangku kepentingan budaya Betawi lainnya tahu harus kemana jika ingin mengetahui dan menikmati seni budaya Betawi tersebut.

Dengan adanya gedung kesenian itu diharapkan perkembangan seni budaya Betawi tidak ?mandeg? atau berhenti karena komunikasi antara seniman dan penikmat seni berjalan lancar.

Sementara bagi penggiat pariwisata di ibukota pun bakal memiliki objek pariwisata budaya yang dapat dipertunjukkan kepada wisatawan, baik dari domestik maupun luar negeri.

Dalam seni musik Betawi seperti gambang kromong, misalnya. Setelah Benyamin Sueb meninggal dunia pada 5 September 1995, Betawi, juga Jakarta, sebenarnya telah kehilangan ikon musisi berbakat yang serba bisa.

Yang menyedihkan adalah hingga saat ini, setelah satu dasawarsa lebih, tidak ada yang bisa menggantikan peran Bang Ben sebagai ikon di tengah makin majunya industri musik di Indonesia.

Upaya untuk menciptakan "Bang Ben-Bang Ben" baru pun tidak terlihat. Belum pernah terdengar, misalnya, adanya pelaksanaan festival musik gambang kromong.

Ada yang menyebut, Pemprov DKI Jakarta juga harus fokus memikirkan pengembangan dan pelestarian seni budaya Betawi, selain mencoba membangun komunitas Betawi.

Barangkali dengan makin maraknya pertunjukkan seni budaya di era globalisasi saat ini, seni budaya Betawi juga dapat menunjukkan eksistensinya.

Jika demikian, paling tidak pembangunan komunitas Betawi dan seni budayanya bakal saling mendukung agar komunitas Betawi tetap eksis.