Perabotan Lenong

Aku Bangga Jadi Anak Betawi

Jumat, 14 Oktober 2011

kebiasaan yang tinggal kenangan

mudah jika ingin membuat kesenian dan seniman Betawi tetap hidup. Berilah kesempatan berpentas sebesar-besarnya kepada mereka di segala tempat dan kesempatan, maka mereka dengan sendirinya akan berkembang dan beregenerasi sendiri.
Sejak awal 1980-an kami sudah merasakan pudarnya warna Betawi dari Jakarta. Ketika itu sebagian besar kampung Betawi sudah jatuh ke tangan konglomerat yang akan membangun real estate. Masih segar dalam ingatan kami, orang Betawi begitu gembira setelah gusuran. Mereka menjadi OKB – orang kaya baru – dengan sedan mengkilap dan deru motor keras memecah suasana kampung yang lengang. Namun kegembiraan itu tak sampai setahun. Bulan kedelapan mereka kembali menjadi orang miskin yang hakiki karena tanah tak punya, uang pun ludes. Komunitas kampung Betawi pun amburadul dan penghuninya terpencar entah kemana. Nama-nama kampung pun hilang sebelum sempat kami mendokumentasikannya.
Bagi kami dampak gurusan itulah yang paling menghunjam ulu hati. Sebab berbarengan dengan gusuran maka adat istiadat, pranata, instutisi, dan seluruh aspek budaya Betawi pun tergusur.
Dulu di kampung Betawi, kami sangat leluasa bermain wak-wak gung, dampu, tok kadal, uler naga, benteng, tembak nama, anggar, pletokan, gantrong, dan lain-lain karena lahan masih luas. Bahkan ketika malam bulan purnama kami pun menikmatinya sambil bermain sampai larut. Kami pun dipercaya oleh babe memelihara kambing. Kami masih sempat ngarit dan ngangon kambing dan sebelum pulang terlebih dahulu mandi di kali jernih. Atau membantu babe menyiram kacang panjang, oyong, bayam, kangung yang ditanam di sawah. Kata orang babe termasuk orang yang tangannya dingin. Maksudnya babe menanam jenis sayuran atau pohon apapun hasilnya akan bagus. Babe pun mengajari membuat tali dari pelepah batang pisang batu. Menjelang bulan puasa kami pasti membantu babe menanam timun suri. Kalau musim nyawah dan padinya mulai menguning, kami diperintah babe jaga burung. Kami duduk di gubuk sambil menarik-narik tali-temali yang dihubungkan ke orang-orangan sawah yang berada di tengah tiap petakan. Ketika musim buah-buahan, kami ikut sibuk membantu ngalap, entah rambutan, duren, pepaya, dan lain-lain. Babe akan menjualnya ke pasar atau ada pembeli yang datang. Sehabis magrib menjadi keasyikan tersendiri mebaca shalawat dan mengaji di langgar. Setelah isya abang-abang dan teman sebaya belajar maen pukulan di halaman rumah guru maen pukulan. Itulah kegiatan dan kegembiraan kami dan kawan-kawan.

Kami ingat ketika sunat. Kami menjadi penganten sunat. Meski dokter sunat sudah banyak, kami disunat oleh bengkong. Kebetulan yang jadi bengkong adalah babe kami sendiri. Pagi buta (pukul 05.00) kami diharuskan mandi dan berendam di kolam selama satu jama. Maksudnya agar penis menjadi kebal dan ketika disunat tidak terlalu sakit. Memang tidak sakit karena sudah kebal dan lebih dari itu babe pandai merayu serta jampe-jampe yang dirapalnya cukup cespleng. Berbarengan dengan pelaksanaan sunat, abang memasang petasan dan encang memotong ayam jago. Ini maksudnya agar teman-teman yang melihat sunatan tidak takut dan sunat dianggap sesuatu yang menggembirakan. Selesai sunat kami mendapat hadiah sepeda dan seekor kambing kebirian. Tamu lain memberi angpao. Lalu disuguhi nasi kuning dan bekakak ayam yang kami makan bersama teman-teman.
Babe kami termasuk peduli dengan kebiasaan Betawi. Ketika kami tamat mengaji, diadakan upacara tamatan Qur’an. Di sini kami kembali menjadi penganten, yaitu penganten tamat Qur’an. Kami juga ingat ketika empok mengadakan upacara nujubulan untuk anak yang pertama. Kami lihat enyak membuat rujak nujubulan dan menyiapkan aer kembang rampe untuk mandi dan ngirag. Waktu itu kesenian lenong, topeng, dan wayang kulit Betawi sangat digemari. Babe pernah nanggap lenong Bang Kidan saat melaksanakan resepsi perkawinan abang. Penonton dari berbagai kampung tumplek.
Babe memang mempunyai keahlian kumplit. Selain petani yang bertangan adem, ia pun seniman rebana ketimpring. Ia dan teman-temannya sering diminta ngarak penganten. Kami pernah menyaksikan babe ngarak Bang Mahrup ketika berangkat ngerudat menuju rumah empok Rohaya. Pukulannya bagus dan suaranya merdu.
Itu semua kenangan yang amat manis dalam hidup kami sebagai anak Betawi. Warna Betawi kini pudar dari Jakarta. Kami rasakan orang Betawi belum siap mengikuti lesatan perobahan jaman. Mereka belum menyadari makna peribahasa ”bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Pengetahuan dan profesionalitas belum mereka miliki untuk berpadu langkah dengan dinamikan kehidupan global. Maka pada saatnya mereka menjadi terperangah berhadapan dengan nilai-nilai baru. Jelasnya, pranata dan institusi yang mereka miliki tak semuanya dapat memenuhi kebutuhan. Ini membuat mereka teralienasi dari kenyataan.
Di era reformasi ini, tumbuh hampir 100-an organisasi masyarakat Betawi. Separohnya  orgasnisasi arisan dan paguyuban. Separoh lagi organisasi ojek payung. Belum ada organisasi profesional yang memiliki visi-misi untuk kemajuan masyarakat. Itu sebabnya kenapa masyarakat Betawi mudah sekali kalah di berbagai medan.

Kamis, 13 Oktober 2011

Komunitas Betawi pinggiran terancam punah karena termakan arus modernisasi. Padahal mereka begitu kuat untuk mempertahankan kultur atau budaya yang selama ini menjadi kebanggaan. Apa jadinya kalau generasi mendatang kemudian tak mengenal lagi cerita rakyat macam ‘Si Pitung’ atau setidaknya terhadap ‘Lenong’ sebagai kesenian Betawi paling populer.
Mari kita semua melestarikan semua peninggalan-peninggalan Betawi yang hampir sudah mulai punah, mulai dari Budaya, Seni, dan Permainan.